Berhari-hari mendiami rumah tersebut, Ratna Mewangi mulai membenahi seluruh bagian rumah dan isinya. Ia mengecat, mengganti tirai yang sudah tua, serta membereskan apa saja yang perlu diperindah. Ia melakukanya sepanjang hari.
“Ambilah minyak wijen, remasan daun balsem, dan getah dari pohon damar. Taburilah itu ke jantung-jantung itu. Dan jangan lupa, kainnya kau olesi kapur sirih serta daun kom, supaya tidak berbau busuk,” kata arwah Murni pada Ratna Mewangi sebelum ia tidur. Ratna Mewangi mengangguk.
“Baik.”
“Mungkin kau akan memerlukannya dalam jumlah yang banyak.” Setelah itu arwah Murni menghilang. Ratna Mewangi pun terlelap. Entah mengapa beberapa hari ini, ia sering memimpikan wajah si perempuan tua bungkuk. Mimpinya tak bagus, keseringan ia bermimpi buruk.
Matahari telah terbit di ufuk timur. Ratna Mewangi bergegas mengumpulkan semua bahan yang dikatakan arwah Murni padanya. Dan hari itu juga, ia akhirnya mendapatkan informasi yang ia cari dari beberapa warga yang bergunjing, tentang keberadaan orang-orang yang ia incar, di kedai minuman di ujung kampung, saat hari menjelang sore. Ia mendengarnya ketika berada di dalam kedai. Warga yang membicarakan tentang itu, ada tiga orang lelaki.
“Aku dengar, Jenderal Pieter dan si penghianat Broto, ada di markas kompeni dekat sini,” kata si lelaki pengisap rokok.
“Ya, aku dengar juga begitu,” balas lelaki yang menyeruput kopi. Di wajahnya memiliki codet.
“Kabarnya sudah tersebar sampai ke desa-desa sekitar sini,” sambung laki-laki berambut gondrong sambil ia menikmati gorengan.
“Bukan cuma di sini, mungkin sudah sampai ke pulau sebelah,” tambah si lelaki bercodet di wajahnya.
“Apa pemberontak di sini sudah tahu?” tanya si lelaki berambut gondrong.
Si lelaki pengisap rokok mengembuskan asap di hidung dan menjawab, “Mereka sudah tahu. Tak mungkin mereka mulai bergerak tanpa tujuan.”
“Hem.”
Sepintas si laki-laki pengisap rokok yang sedang menyadarkan belakangnya di tepian dinding, memandang ke luar, ke atas langit. “Langit akhir-akhir ini kelihatan tak begitu baik. Pasti perang besar bakal terjadi di negeri ini. Malapetaka sudah menunggu dan kematian tak akan bisa kita hindari,” tuturnya. Mereka tidak mengetahui kalau Ratna Mewangi sedang menguping pembicaraan mereka dari meja seberang. Ia menikmati gorengan seolah-olah, ia terlihat tak mencurigakan.
Lalu, lima orang lelaki melintas di depan kedai itu. Di dada mereka, ada lambang pemberontak seperti lambang kawanan si Onjong. Wajah mereka sangar. Pandangan Ratna Mewangi sekilas teralih pada mereka, begitu juga dengan tiga orang lelaki itu.