Ratna Mewangi lalu diantar si Ucok sampai di rumahnya. Sepulangnya dari sana, siang itu, Ratna Mewangi lantas bercakap dengan arwah Murni.
“Orang itu kelihatan bijaksana. Tapi kau harus waspada, belum tentu dia itu orang baik,” kata arwah Murni.
“Aku tahu,” balas Ratna Mewangi.
“Sebelum tiga hari, kau pasti tak akan membuang-buang waktumu percuma.”
“Ya. Sementara, aku akan menambah tumbalku. Kulihat di kampung ini, ada kedai yang menjajakan minum keras. Dan di akhir pekan, banyak lelaki pembuat onar yang datang di situ dan juga para serdadu Belanda. Aku ingin mampir ke tempat itu untuk mencari mangsa,” katanya sembari tersenyum miring.
“Mungkin itulah yang mesti kau lakukan. Mengingat waktumu tak banyak lagi.”
“Ya. Sudah kupikirkan itu. Tinggal sebulan lagi dari hari ini. Purnama ketujuh. Seratus tiga puluh tiga jantung. Dan aku baru mengumpulkan lima jantung. Masih banyak yang harus kubunuh. Semoga aku tepat waktu.”
“Apa kau sudah pikirkan tempat yang tepat untuk menghabisi calon tumbalmu? Kau tak bisa meninggalkan jasad mereka di sembarang tempat. Penduduk di sini akan gempar. Dan kau tentunya tak ingin dicurigai,” ujarnya.
“Aku tak akan bertindak gegabah seperti itu. Sudah kusiapkan tempat yang cocok buat mereka.” Arwah Murni kemudian memandangi Ratna Mewangi. Dan lanjut katanya pada arwah Murni, “Rumah ini. Akan kubunuh mereka di sini.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Pasangan suami istri itu baik padamu. Apa yang akan kau lakukan bila mereka tahu perbuatanmu?”