“Kau menakutiku,” katanya.
“Itu kenyataannya.”
“Bagaimana dengan teluh itu?”
“Setelah kematian keluarga Surti, barulah kampung kami terbebas dari kemalangan.”
“Apa aku harus membunuh si perempuan tua bungkuk itu?”
“Aku belum yakin betul kalau itu dirinya. Tapi roh ini terus mengatakan, dia.”
Ratna Mewangi berpikir-pikir sesaat. “Aku masih ragu.”
“Jangan lakukan bila ragu. Kau dan aku belum tentu bisa semudah itu melenyapkannya. Aku juga ragu, bila roh ini mampu untuk menyentuhnya. Kurasa dia perempuan yang memiliki kesaktian. Aku sudah melihatnya.”
“Melihatnya?” Ratna Mewangi mengernyitkan dahinya kembali.
“Ya.”
“Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu,” curiganya.
“Tak perlu kuceritakan padamu,” katanya sembari membayangi lagi tarian si perempuan tua bungkuk di depan Ratna Mewangi yang terlelap. “Kau tertidur seperti orang mati saat itu. Kau tak melihatnya. Kau bangun, di saat dia sudah tak ada di kamarmu. Kau cukup tahu saja.”
Sebenarnya apa yang si tua itu lakukan padaku? Sialan, pikirnya dalam hati. Tiba-tiba, arwah Murni terbayang sesuatu. “Aku ingat sekarang.” Ratna Mewangi menatap arwah Murni.
“Sesudah teluh itu berlalu dan sebelum keluarga Surti meninggal akibat perbuatan bapakku, seorang gadis yang masih terpengaruh, sembuh dengan meminum darah kambing hitam muda.”
“Siapa yang bilang?”