Di sana Ratna Mewangi mulai melakukan apa yang mereka suruh padanya. Ia melakukan tugasnya dengan semua kemampuan yang ia miliki. Menjadi mata-mata pemberontak dan rela menempatkan dirinya dalam bahaya, sebagai perempuan penghibur para kompeni demi mendapatkan informasi. Dan berkat informasi dari Ratna Mewangi, para pemberontak segera menyusun strategi untuk menyerang kompeni. Satu minggu kemudian, pertempuran sengit pun terjadi. Hingga akhirnya para pemberontak berhasil mengalahkan kompeni, dan berhasil menguasai tiga benteng pertahanan yang mereka duduki.
Pundi-pundi upah langsung mengalir di saku Ratna Mewangi. Tak hanya itu saja, ia kini berhasil mengumpulkan sembilan puluh tujuh jantung serdadu kompeni, beserta para pemberontak yang tewas. Tetapi tidak mudah ia mendapatkan jantung mereka, sebab ia harus turun ke jurang yang dipenuhi dengan bangkai manusia, setelah jasad mereka dilemparkan di situ. Jurang itu sebenarnya adalah tempat pembuangan bagi para serdadu kompeni, dan para pemberontak yang tewas di medan pertempuran. Waktu subuh, saat itulah ia melancarkan aksinya untuk mencabut jantung mereka, kemudian menyimpannya di tempat yang aman, dan ia harus kembali lagi di malam hari untuk datang mengambilnya. Sebab bila ia terlambat sehari saja, pasti jantung-jantung tersebut sudah dilahap binatang liar yang kelaparan.
Dengan berbekal selendang dan sebuah obor, ia melintasi perkebunan warga di waktu tengah malam dan membawa jantung-jantung itu ke rumahnya agar tidak ketahuan. Mujur, jarak antara jurang tersebut dan tempat tinggalnya, tidak begitu jauh, jadi ia tidak perlu lagi kesusahan—bolak-balik mengambil jantung-jantung itu dalam waktu semalam saja.
“Menyedihkan. Sungguh aku tak ingin terlahir seperti ini,” kata Ratna Mewangi agak terengah.
“Mati saja bila kau tak mampu terima hidupmu,” balas arwah Murni.
“Sudah lama kulakukan jika kau tak menyelamatkanku dari hutan terkutuk itu.”
“Kulihat, kau sudah cukup kelelahan. Sudahi saja hidupmu supaya kau tak menderita lagi.”
“Apa kau ingin aku mati?” tanyanya menatap tajam pada arwah Murni. Arwah Murni tersenyum miring.
“Aku tak akan mengatakannya padamu kalau aku tak melihatmu sengsara.”
Ratna Mewangi menundukkan kepala sembari membuang napas pendek. “Ya, aku sering memikirkan untuk mati dan menyudahi penderitaanku. Tapi sepertinya kematian masih menolakku di sana. Mungkin aku akan mati dengan tenang, bila mereka yang kudendam sudah kuhabisi.”
“Semoga kau bisa merasakan bahagia sebelum kau mati,” katanya. Ratna Mewangi tersenyum kecil.