Sekitar empat jam perjalanan melewati bukit dan perkebunan, akhirnya Ratna Mewangi tiba di perkampung Arai. Sekedip mata, ia dibuat takjub melihat betapa luasnya perkampung tersebut. Sungguh pemukiman padat penduduk. Namun ada yang membuatnya tak nyaman, adalah sebagian orang-orang yang berada di pinggir jalan itu, tidur, dan berjalan serupa mayat hidup. Sedangkan penduduk lain yang tengah beraktivitas seakan cuek, tak memedulikan mereka atau sudah dianggap biasa. Tetapi meskipun begitu, perkampungan Arai ini sangat dijaga ketat oleh pemerintah Belanda, sehingga tak mudah buat orang luar untuk bebas keluar—masuk tanpa adanya tanda pengenal. Kecuali orang itu adalah jalang dari luar yang dibawa untuk dipekerjakan di sini.
“Kenapa orang-orang itu?” tanya Ratna Mewangi kepada Ucok yang sementara mengemudi.
“Kalau orang baru pasti heran,” jawab Ucok, “di sini tingkat kejahatannya tinggi. Tempat berkumpulnya segala macam dosa.”
Lalu truk mereka memasuki pos pemeriksaan. Di situ dijaga oleh beberapa serdadu kompeni yang bersenjata lengkap. Kemudian, seorang serdadu menutup palangnya dan yang satunya lagi merapat ke pintu kaca truk.
“Tanda pengenalnya,” kata serdadu itu. Ucok menyerahkan tanda pengenalnya yang dibuat palsu.
“Ini mister.” Setelah mengeceknya, ia menyerahkannya kembali. Si serdadu lalu melirik pada Ratna Mewangi yang duduk di sebelah Ucok.
“Siapa perempuan itu?” tanyanya mengedikkan bahu. Ratna Mewangi pelan-pelan menaikkan sedikit selendang di lehernya, supaya wajahnya tak kentara.
“Stok baru dari daerah sebelah, mister,” jawabnya menyegir.
“Oh.” Si serdadu tersenyum miring sambil mengangguk-angguk. “Uang masuk.” Ucok membayarnya dan palang pun dibuka. Truk Ucok kini sudah diperbolehkan masuk. Sembari mengemudi, Ucok menjelaskan, “Perdagangan di sini dikendalikan sepenuhnya oleh Belanda. Para pedagang tak bisa mendapatkan keuntungan lebih, malahan mereka dipaksa harus membayar pajak yang tinggi. Petinggi-petinggi kampung yang seharusnya memperjuangkan hak pedagang dan petani, banyak yang menjadi anjing peliharaan Belanda. Mereka jadi rakus, bahkan pada orang-orang sendiri. Mereka tak lagi memedulikan kesejahteraan penduduk. Mereka lebih mementingkan uang dan jabatan. Membuat penduduk di sini menderita sampai melakukan penjarahan. Akhirnya mereka ditangkap dan kepunyaan mereka disita. Kalau mereka mempunyai anak gadis, dia dijadikan pelacur. Kalau laki-laki dikirim untuk kerja paksa, dan kalau sudah tua, dibuang ke jalanan. Itulah sebagian dari mereka yang kau lihat tadi. Tak ada yang masih muda. Namun, kampung ini dianggap sebagai surga oleh orang Belanda dan para bangsawan. Sebab semua hal duniawi ada di tempat ini. ”
“Kurang ajar! Seharusnya mereka sudah lenyap dari tanah ini.”
“Setiap orang tentu menginginkan itu terjadi, neng. Tapi kenyataan tak semudah kata-kata. Tunggu saja, sampai semuanya berjalan sesuai dengan harapan kita.”
Mereka kemudian memasuki sebuah jalur panjang yang dipenuhi asap, serta pemandangan yang buruk. Orang-orang berlalu lalang, namun ada yang kelihatan normal dan ada yang tidak. Pengemis, orang gila, dan orang-orang teler, berserakan di pinggir jalan. Jalanan yang dilewati juga banyak yang berlubang dan digenangi air. Kedai-kedai makanan dan minuman tak terurus, selokan-selokan macet oleh kotoran, ditambah banyaknya bangunan-bangunan tua yang terbengkalai. Sampah-sampah berterbangan di mana-mana.
Rumah-rumah tempat maksiat berjejeran sepanjang jalan. Dan perempuan-perempuan jalang, kelihatan sementara merayu-rayu di depan pintu masuk, demi menarik perhatian para lelaki-lelaki hidung belang. Dan mirisnya lagi, di antara mereka ada gadis-gadis muda yang sedang memperdagangkan tubuh mereka. Melihat itu, Ratna Mewangi, merasa seperti berada di dunia lain. Ucok lalu menepikan mobil truk di depan sebuah gang, di ujung perkampungan ini. Lumayan, di depan gang itu masih ada pepohonan hijau yang tumbuh.