Gelap pun tiba selepas senja, namun hujan tak kunjung datang meski langit telah lebih dulu kelabu sedari tadi. Ratna Mewangi segera keluar untuk menjajal kehidupan malam di perkampungan yang terkenal berbahaya ini. Ia mulai mencari informasi tentang keberadaan markas-markas kompeni. Sepanjang jalan yang ia lewati, api-api tampak menyala di dalam tong-tong sampah besi. Dan beberapa orang tengah berkerumun di situ, sekadar menghangatkan diri dari dinginnya angin malam yang menusuk. Asapnya menggulung ke atas, menyelinap di tiap-tiap sudut lorong dan menyebar di seluruh jalanan. Orang-orang mabuk berkeliaran, pengemis, penipu meminta-minta di pinggir jalan,dan segerombolan pemeras sedang menjarah sebuah kedai kecil. Anjing liar menggonggong di sudut gelap, tikus-tikus saling membunuh di dalam parit, serta mereka yang menyebut diri mereka sebagai kelompok orang-orang jahat, telah menempati wilayah mereka masing-masing dengan seluruh pengikutnya.
Di sepanjang jalan itu pula, berjejer rumah-rumah bordil yang menjajakan perempuan-perempuan jalang dari berbagai distrik di tanah ini. Adapun, seorang jalang dan seorang lelaki hidung belang, tengah bercumbu mesra di sebelah dinding salah satu rumah bordil di situ. Kepalang basah, Ratna Mewangi telah berada sepuluh langkah dari tempat mereka bercumbu. Hingga suara desahan si perempuan, terpaksa membuatnya berpaling ke belakang dan melintas di jalur seberang sana. Sejauh kakinya melangkah melewati beberapa rumah-rumah bordil tersebut, banyak para jalang terlihat sementara merayu-rayu lelaki yang lewat di depan situ. Dan tepat di depan salah satu rumah bordil yang berada di unjung jalan, Ratna Mewangi terhenyak, sebab lengannya tiba-tiba saja dipegang oleh seorang jalang yang sementara menawarkan tubuhnya. Sambil merokok si jalang itu berkata begini pada Ratna Mewangi, “Singgahlah sebentar.” Ratna Mewangi terkejut dan ia lekas-lekas menutup setengah wajahnya dengan selendang.
“Maaf ... aku masih ada urusan lain. Permisi,” balasnya pada si jalang. Namun si jalang tetap menahan lengan Ratna Mewangi, seakan ia berupaya untuk tak mengizinkannya pergi.
“Wajahmu cantik, kenapa ditutupi?”
Secepatnya Ratna Mewangi menjawab dengan matanya yang berkilat tajam, “Bukan urusanmu!” Si jalang tersenyum tipis. Ratna Mewangi melanjutkan, “Lepaskan tanganku.”
Si jalang langsung melepaskan genggaman tangannya dari lengan Ratna Mewangi. “Aku suka perempuan sepertimu.”
Tanpa bercakap lagi, Ratna Mewangi segera berlalu dari situ. Si jalang kemudian menarik dalam-dalam asap rokoknya dan mengembuskannya perlahan-lahan melalui hidung. Sambil memandang Ratna Mewangi, ia berkata sendiri: belum kutanya siapa namamu, kau malah pergi. Bila bertemu kembali, kau tak akan kulepaskan. Tak lupa ia membanjur bibirnya yang lembut sampai kelihatan mengkilap. Rupanya ia telah tergoda oleh kecantikan Ratna Mewangi, dan tampaknya ia adalah seorang perempuan yang suka sesama jenis ataupun kedua-duanya.
Belum terlalu jauh Ratna Mewangi meninggalkan si jalang, ia berhenti, mencoba menoleh sekali ke belakang, untuk memastikan kalau si jalang itu sudah tidak lagi berdiri di situ. Namun apa yang ia lihat, ternyata si jalanh masih setia memandanginya. Tak elak perasaan kesalnya muncul tiba-tiba. Dasar perempuan sinting, gumamnya sembari membuang muka. Ia lalu melanjutkan langkahnya tanpa melihat-lihat lagi ke belakang. Sepanjang jalan sehabis rumah bordil tersebut, Ratna Mewangi digonggong anjing-anjing liar yang bersembunyi dalam gelap. Hanya mata mereka (anjing-anjing liar) saja yang menyala. Dan beberapa kali pula, ia berpapasan dengan orang-orang asing. Sampai kemudian, ia tiba di depan sebuah kedai minuman yang masih buka. Ia melihat ke dalam, ada beberapa lelaki terlihat sedang menikmati minuman sambil bersenda gurau. Sepintas ia menangkap perbincangan mereka mengenai kompeni. Seketika ia seolah diperintah oleh dirinya sendiri untuk masuk ke dalam. Sesampainya di dalam, seorang lelaki lalu datang menghampirinya di tempat duduk.
“Mau pesan apa, neng?” tanyanya.
“Araknya satu, pak,” jawab Ratna Mewangi.