Pemilik kedai tampak sedikit terkejut namun tidak kehilangan senyumannya yang munafik. “Tenang, neng. Maksud saya bukan untuk menyinggung,” katanya mencoba meredakan ketegangan. “Saya hanya berusaha membantu.”
Ratna Mewangi menatapnya beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. Ia merasa tak punya pilihan lain selain mengikuti tawaran si pemilik kedai. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Antarkan saya ke dalam.”
Dan si pemilik kedai pun tersenyum-senyum sendiri seperti seorang badut. “Mari neng ikut saya.”
Dengan langkah berat, Ratna Mewangi kemudian mengikuti si pemilik kedai yang berjalan lebih dulu menuju ke pintu masuk sebuah ruangan khusus. Setiap langkah terasa seakan membawanya lebih dekat pada orang-orang yang selama ini ia incar. Ketika mereka memasuki jalur kecil yang bercahaya remang-remang, suara-suara berisik datang merebak dari dalam pintu ruangan depan sana. Setelah keduanya tiba di depan ruangan yang berisik itu, si pemilik kedai mengetuk pelan, terus memutar kenop pintu. “Masuklah, neng. Dia ada di dalam,” ujarnya membuka pintu tersebut.
Pelan-pelan, Ratna Mewangi melangkah masuk sambil ia menutupi setengah wajahnya oleh selendangnya supaya tak kentara, sekaligus memasang mata pada para serdadu Belanda yang tengah asyik bermain-main dengan para jalang. Di tengah ruangan, duduk seorang lelaki bule berbadan kekar dan satunya lagi seorang lelaki pribumi. Mereka berdua adalah kedua orang yang ia lihat pada malam kemarin di depan rumah maksiat. Di situ pula, ia terbayang kembali perbuatan biadab mereka padanya sampai ia dikubur hidup-hidup di hutan terlarang. Ingatan itu begitu jelas dan sangat membekas. Apalagi segelintir dari mereka yang selama ini ia incar sudah berada tepat di depan matanya.
Jenderal Pieter, gumamnya dalam hati menatap si lelaki bule berbadan kekar. Pak Broto, gumamnya lagi menatap si lelaki pribumi. Kalian manusia-manusia laknat. Jenderal Pieter tampak sedang memegang sebuah pistol sembari ia mengelus-eluskan ujung pistolnya pada lengan seorang jalang yang lagi duduk di pangkuannya. Sedangkan Pak Broto, hanya santai mencumbu si jalang miliknya di badan kursi. Ketika Jenderal Pieter menyadari kehadiran Ratna Mewangi, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. “Kemarilah,” katanya pada Ratna Mewangi dengan mengacungkan pistol.