Ia membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya matahari yang menembus para-para jendela. Lalu ia mencoba duduk dan menatap sekeliling, meski ia masih ingin lebih lama lagi berbaring di kasur. Si Nyai kelihatan ada di kursi dekat jendela, tengah mengaduk secangkir teh hangat.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Si Nyai dengan nada santai, sambil meniup uap teh dari cangkirnya.
Ratna Mewangi menarik napas dalam-dalam, merasakan kehangatan yang terasa kembali ke tubuhnya. “Sedikit pusing, tapi jauh lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Si Nyai mengangguk puas. “Itu tanda bahwa racun sudah hampir sepenuhnya keluar dari tubuhmu. Minumlah ini,” katanya, menyerahkan cangkir teh lain yang berisi ramuan herbal.
Ratna mengambil cangkir itu dan menyesapnya pelan-pelan. Rasanya pahit, tapi hangat dan menenangkan. “Terima kasih. Aku minta maaf, atas perlakuanku tadi malam.”
Si Nyai tersenyum ramah. “Lupakan, tak usah kau pikirkan lagi hal itu. Lukamu sudah kujahit dan peluru beracun yang bersarang di lenganmu, sudah kuambil.” Ratna Mewangi menundukkan kepalanya dan kembali menyesap tehnya. Si Nyai melanjutkan, “Aku penasaran, kau itu siapa, hingga diburu kompeni?” Ratna Mewangi terdiam sebentar. Suasana jadi hening walaupun di luar terdengar begitu gaduh. Dentuman meriam dan tembakan bertubi-tubi bergema dari kejauhan, menambah intensitas keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Si Nyai kembali melanjutkan, “Di sini kau tidak akan mendengar keheningan. Hampir setiap hari suara-suara kiamat itu selalu mengganggu. Dan kadang kala, sering mengambil nyawa orang. Hidup di sini adalah hidup dalam ketakutan yang tak pernah berakhir.”
Ratna Mewangi lalu beranjak dari kasur dan menghampiri jendela dan melihat ke luar, lalu katanya, “Aku tahu perasaan itu. Aku telah kehilangan banyak orang yang kucintai. Itulah sebabnya aku diburu. Tetapi tampaknya, tidak ada tempat yang aman bagi orang seperti aku.”
“Sebenarnya kau siapa perempuan? Dan asalmu dari mana?”
Ratna mengangkat kepalanya, sambil menatap lurus ke mata si Nyai. “Aku bukan siapa-siapa. Hanya seorang perempuan yang mencoba bertahan hidup di dunia yang penuh dengan kekejaman.”
Si Nyai menggeleng pelan, matanya menyipit seolah mencoba menembus tabir rahasia yang menyelimuti Ratna Mewangi. “Kurasa kau lebih dari sekadar itu. Luka di lenganmu, cara mereka mengejarmu ... itu bukan perlakuan untuk orang biasa.”
Untuk menutupi dirinya adalah salah satu orang berbahaya yang sudah dianggap mati oleh Belanda, Ratna Mewangi terpaksa bicara jujur pada si Nyai. “Sebenarnya aku adalah bagian dari kelompok perlawanan. Dan mereka, orang-orang yang mengejarku, adalah antek-antek kompeni yang ingin menghentikan kami.”