DIKEJAR DOSA

Donny Sixx
Chapter #52

Rasa sakit, cinta, dan balas dendam

Sambil mengenakan pakaiannya, ia merenungkan kehidupannya. Ia berjalan menuju jendela kecil di sudut ruangan dan membuka tirainya. Di luar, hari semakin siang, suara-suara berisik pun mulai terdengar seperti kekacauan yang segera membludak. Lingkungan yang keras dan bermasalah, seolah memaksanya untuk keluar dari kenyataan sejenak. Namun, di saat-saat seperti ini, ia merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Lantas pikirannya seketika melayang pada Nyai Sarah. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan bagaimana rasanya menjadi Nyai Sarah. Apakah ada kepuasan dalam kekuasaan yang dipegangnya? Ataukah semua itu hanya topeng untuk menyembunyikan luka dan ketidakberdayaan yang sesungguhnya? Ia tidak tahu pasti, tetapi yang ia tahu adalah bahwa setiap orang memiliki sisi gelap dan terang, serta cerita yang tersembunyi di balik setiap senyuman atau tatapan tajam. Perlahan, ia merapikan rambutnya dan menatap dirinya di cermin sekali lagi. Bayangan yang ia lihat kali ini bukan lagi perempuan dalam gaun mewah, melainkan dirinya yang sebenarnya. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri, merasa sedikit lebih ringan meski dosanya tak mungkin berkurang. Kita semua punya cerita, bisiknya pada dirinya sendiri. Dan suatu hari nanti, mungkin aku juga akan menemukan cara untuk menulis akhir yang lebih baik untuk ceritaku. Heh, dasar bodoh. Ia tertawa menyepelehkan dirinya sendiri. Apalagi yang kupikirkan, menyebalkan.

Ia menutup kembali tirainya dan menghampiri kasur. Pelan-pelan matanya mulai tertutup dan ia terlelap. Beberapa jam kemudian, hari benar-benar telah siang. Ia terjaga ketika seseorang datang dan mengetuk pintu kamar dari luar. “Siapa?” Ratna Mewangi menyahut.

Terdengar suara seorang lelaki membalas, “Saya neng. Disuruh Nyai … antar makanan.”

Ia bangkit dari kasur, mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk. Dengan langkah gontai, ia meraih selendangnya di atas lemari kecil lalu berjalan menuju pintu, dan membukanya. Namun  sebelum membuka pintu, tak lupa ia menutup setengah wajahnya. Kini, di hadapannya berdiri seorang lelaki muda yang tersenyum manis, membawa sebuah nampan berisi makanan.

“Terima kasih,” ujarnya menerima nampan itu sambil mengangguk singkat. Si lelaki hanya tersenyum tipis. Dan sebelum pergi, si lelaki memberikan selembar kertas pada Ratna Mewangi.

“Nyai menitipkan ini pada neng.” Tanpa banyak bicara lagi, si lelaki muda langsung pergi. Ratna Mewangi menutup pintu dan membawa nampan tersebut ke meja kecil di sudut ruangan.

Matahari sudah tinggi, sinarnya menembus tirai yang sedikit terbuka, menerangi ruangan dengan lembut. Ia duduk di kursi, menatap makanan di depannya. Sederhana, namun cukup menggugah selera. Sambil makan, ia membuka kertas tersebut. Ternyata Nyai Sarah hanya berpesan kepadanya, kalau sore, para serdadu Belanda dan atasan mereka, akan berkunjung ke penginapannya. Dan Nyai Sarah menyuruhnya untuk tidak keluar dari kamar. Sekejap, wajahnya jadi gusar. Ia meremas kuat-kuat kertas itu dan menghela napas panjang. Nafsu membunuh mulai merayapi dirinya, membayangkan skenario buruk yang bisa saja terjadi. Namun perlahan ia berupaya menenangkan diri. Ia tahu bahwa kehilangan kendali hanya akan memperburuk situasi seperti yang ia alami waktu itu. Sambil mengatur napasnya, ia berusaha memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Pesan Nyai Sarah jelas: tetap di kamar. Namun, ia tidak bisa mengabaikan instingnya yang menyuruhnya untuk membunuh.

Lihat selengkapnya