DIKEJAR DOSA

Donny Sixx
Chapter #53

Buronan

Ia merasakan campuran gairah yang membara di dalam dirinya. Sentuhan si Cantik begitu intens, membuat tubuhnya gemetar. Di antara desahan dan rintihan yang tertahan, Ratna Mewangi mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Setiap sentuhan, setiap gerakan, membawa gelombang sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Si Cantik kemudian melepaskan cengkeramannya dari mulut Ratna Mewangi, memberikan kesempatan padanya untuk bernapas lega. Namun, sebelum Ratna Mewangi sempat berkata apa-apa, si Cantik sudah menatapnya dalam-dalam dengan mata yang berkilat penuh hasrat. “Nikmati saja,” bisiknya dengan suara serak yang penuh dengan kehangatan. “Sekarang, hanya ada kita. Tak ada orang lain yang akan mengganggu.”

Ratna Mewangi tak bisa menolak. Tubuhnya terasa lemas, seperti terjebak dalam mantra yang tak terlihat. Si Cantik melanjutkan cumbunya, lebih lembut namun tetap penuh gairah, mengeksplorasi setiap inci tubuh Ratna Mewangi dengan lidahnya. Sesaat lidahnya tersekat di tengah kedua buah dada Ratna Mewangi yang menonjol serupa gunung kembar. Ia kembali menjulurkan ujung lidahnya, menjilat ke bawah, ke bagian paha, selanjutnya lidahnya menerobos ke tengah, di antara kedua paha Ratna Mewangi. Rasa nikmat bercampur air mata terus membuatnya tunduk. Sentuhan itu memang sungguh hebat, hingga membuatnya terbuai dalam pusaran keintiman yang memabukkan. Dalam suasana kasmaran, suara desahan mereka berpadu dengan gemerisik angin di luar jendela. Setiap detik terasa seperti keabadian, mengikat Ratna Mewangi dalam jaring kenikmatan yang tak terelakkan. Seiring jiwanya seolah-olah sedang melayang, ia perlahan menutup mata.

Beberapa jam kemudian, ia terbangun. Tubuhnya telanjang dan tak berselimut. Ia secepatnya menegakkan badan sambil memandangi sekeliling seperti orang kikuk. Dilihatnya tak ada siapa-siapa, hanya dia seorang. Lantas ia teringat apa yang ia lakukan tadi dengan sosok yang ia lihat itu adalah si arwah Murni. Murni, gumamnya agak tersengal. Lalu seprai yang ada di bawah, di antara kedua pahanya pun tampak basah. Apa yang aku lakukan tadi? Bingung, ia bertanya pada dirinya sendiri. Sial.

Mendadak, jam dinding berbunyi. Menunjukkan pukul lima sore. Ia cepat-cepat mengenakkan pakaiannya dan merapat ke jendela. Dilihatnya, langit berawan hitam dan matahari mulai tenggelam. Ia segera menghampiri kasur, menarik seprai itu, dan menggulungnya. Dicarinya sebuah tas plastik besar. Setelah menemukan tas plastik besar di sudut ruangan, Ratna Mewangi memasukkan seprai basah itu ke dalamnya dengan tergesa-gesa. Sebab ia khawatir kalau Nyai Sarah sebentar lagi akan sampai. Sesudah memastikan seprai sudah terbungkus rapi dalam tas plastik, ia menyimpannya di sudut ruangan yang tersembunyi, berencana untuk membuangnya, bila ia keluar nanti. Ia kemudian menghampiri lemari Nyai Sarah untuk mencari seprai baru. Dibukanya, beruntung, di bawah pakaian dalam Nyai Sarah, terdapat beberapa seprai yang warnanya sama. Secepatnya ia menarik salah satu seprai baru tersebut, dan langsung menggantinya, tak lupa pula, ia memastikan semuanya terlihat rapi dan bersih seperti semula. Ia melirik jam dinding lagi, waktu terus berjalan, dan Nyai Sarah bisa tiba kapan saja. Kembali, ia merapat ke jendela, menatap ke luar, menatap langit yang semakin gelap, dan kilat mulai menyambar di kejauhan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan si Cantik terus menghantui pikirannya.

Tidak mungkin ini hanya mimpi, gumamnya lagi pada diri sendiri. Terlalu nyata.

Seketika ia mendengar suara beberapa orang lelaki dan perempuan lewat di depan pintu kamar. Sangat berisik, dan jelas, suara dari lelaki, adalah logat para serdadu Belanda. Pelan-pelan ia menghampiri pintu dan membukanya setengah. Ia melihat lima pasang serdadu Belanda bersama para jalang, berjalan menuju ke kamar mereka masing-masing. Tetapi tanpa ia sadari, masih ada satu pasang lagi serdadu Belanda yang datang mengarah padanya dan sempat melihatnya mengintip di situ.

“Hei!” teriak si serdadu Belanda. Kuat. Begitu Ratna Mewangi memandang ke belakang, si serdadu Belanda itu berteriak kembali, kali ini makin kuat, “Hei! Kau!”

Lihat selengkapnya