Diksi Patah Hati

Sutan Azis
Chapter #1

Monolog

Silau cahaya mentari menembus jendela kamar, mata yang terpejam tertidur lelap seakan dipaksa untuk terbuka. Senin, banyak orang yang menganggap hari itu sebagai hari pertama dari enam hari berikutnya.

Ya, Minggu adalah hari pertama yang dalam bahasa Arab yaitu Ahad yang artinya satu. Lantas kenapa semua diawali di hari Senin, mulai dari sekolah, kuliah, maupun kerja, dan bagiku Senin sebagai hari paling malas untuk beraktivitas.

"Tam, Tam bangun. Cepat bangun nanti telat, lho sekolahnya!" Suara Ibu sambil mengetuk pintu kamar di sisi kiri berwarna cokelat kayu jati.

"Iya, Bu bentar," jawabku yang setengah sadar untuk bangun sembari mengusak rambut.

Ibu memang biasa selalu membangunkanku ketika aku tertidur lelap, terkadang itu membuatku tidak nyaman, siapa yang tidak terganggu ketika sedang asyiknya masuk ke dalam alam lain, sedang menikmati betapa harmonisnya dunia, lantas ada suara entah dari mana memangil-manggil nama kita yang terus terngiang di dalam telinga, sontak siapa pun akan terbangun dengan suara panggilan itu.

Tetapi lain hal kalau alam yang kita masuki saat tertidur itu ternyata begitu menakutkan, lebih menakutkan dari dunia nyata yang kita jalani ini. Ingin segera rasanya ada seseorang seperti Ibu yang terus memanggil namaku agar bisa terlepas dari dunia yang menakutkan itu.

Aku pun segera beranjak dari ranjang tempat tidurku yang seakan gaya gravitasi sangat kuat di tempat itu. Aku mandi, memakai seragam dan sarapan. Aku tidak begitu suka kalau harus bertele-tele, walaupun kata pepatah Jawa 'alon-alon asal kelakon', aku lebih suka melakukan hal dengan cepat, aku tidak suka menunggu dan orang lain menungguku.

Enam tiga puluh pagi aku berangkat ke sekolah dengan mengendarai si Abe, vespa tua kesayanganku buatan Itali tahun 1974, hadiah ulang tahunku yang ke 17 tahun lalu.

Entah kenapa vespa tua itu aku namakan dengan si Abe, aku rasa cocok saja dengannya. Dengan warna biru muda bagai langit yang cerah karena sang hujan tidak sedang menghampirinya. Bentuknya yang begitu mirip kodok dengan roda yang melintas di atas aspal hitam, hanya saja tidak melompat menggunakan kedua kakinya.

Yang paling aku suka kalau sedang mengendarai si Abe, yaitu mendengar suara knalpotnya yang nyaring bagai suara kaleng rombeng. Tapi, di situlah letak keseruannya.

Aku sama sekali tidak merasa risi dengan suara knalpot yang berisik itu, justru aku menikmatinya, bahkan itu membuatku sangat nyaman sekadar berkeliling mencari angin, atau untuk berkendara ke sekolah, atau bahkan jika dapat hari libur yang cukup lama, tak jarang aku pergi touring keluar kota, entah ke pantai, ke perbukitan atau bahkan menjelajahi tempat yang belum pernah aku kunjungi. Aku begitu menikmati berkendara dengan pabrikan lawas Itali itu.

Dan yang tak kalah seru kalau bertemu dengan pengendara vespa lain, kami tak segan hanya sekadar tegur sapa dengan klakson yang suaranya bagai kasur kayu tua reyot, atau saling berbalas membunyikan knalpot yang suaranya nyaring itu, atau bahkan sekadar menyapa dan melambaikan tangan saja. Itu sungguh mengasyikan, tegur sapa dengan orang yang tidak kita kenal, dilempar senyum oleh orang asing yang belum pernah kita temui.

Lihat selengkapnya