Diksi Patah Hati

Sutan Azis
Chapter #2

Anomali

Ketika Notifikasi Merajam Pagi yang Damai

Kicauan burung-burung, dari sayap-sayap mungil di luar jendela, mulai bersahutan. Belum usai keindahan itu membuai, rentetan notifikasi WhatsApp justru merajam, menembus dinding mimpi dan memaksa kesadaranku kembali. Pagi itu, satu-satunya hasrat adalah membiarkan diri tenggelam dalam pelukan tidur hingga sang surya beranjak tinggi.

"Tam, bangun! Buruan booking! Mau latihan jam berapa kita?" Pesan Akbar melesat masuk, seolah napasnya tertahan, menanti balasan. Nadanya sudah tak sabar.

Akbar. Teman sejati yang tak pernah gagal membuat suasana hidup. Tubuhnya jangkung dan kurus, namun kelakar dan tingkah konyolnya selalu berhasil mencairkan beku. Dialah penjaga ritem kami, sang pemetik bass andalan.

"Wah, anjir, Bar! Gue lupa total!" balasku, sedikit terhenyak. "Nanti gue booking, deh, ya." Sial, ini hari Sabtu! Bagaimana bisa aku lupa jadwal rutin kami, latihan band setiap Sabtu dan Minggu, di sela libur sekolah?

"Dasar kebiasaan! Tukang tidur! Udah siang bolong juga," gerutu Akbar, tanpa ampun, disusul emotikon melotot.

"Iya-iya. Ribet amat, sih! Udah, ah. Gue mau mandi."

"Eh, Bar," pancingku, "jadi ajak teman sekolahmu itu buat vokalis band kita?" Ada sedikit rasa penasaran menyelinap.

"Udah, nih. Udah gue chat juga. Nanti gue jemput dia dulu, lu duluan aja sama Zidan."

Zidan, maestro gitar dan belahan jiwa persahabatan sejak SD. Meski terkadang cuek, auranya selalu keren, memikat. Tingginya hampir menyamai Akbar, namun tubuhnya lebih ramping, dengan kulit putih bersih. Sama konyolnya, tapi dengan gaya yang berbeda.

"Siap!" balasku singkat.

Tak buang waktu, aku segera menghubungi Om Bob, sang empunya Studio 10, markas kami berlatih. Pria berbadan gempal dengan kepala plontos itu, sekilas, kemiripannya dengan Saykoji sungguh mencolok. Ukuran tubuh yang sama-sama pendek berisi. Terkadang aku berpikir mereka ini saudara kembar yang terpisah, hanya saja Om Bob bukan rapper legendaris, melainkan pemilik studio musik yang cukup tersohor. Studio 10 bukan sekadar tempat latihan; ia adalah kawah candradimuka di mana single atau bahkan album bisa lahir. Betapa hebat, bukan?

Aku memesan studio dari pukul 10 pagi hingga 12 siang. Kabar itu segera kukirimkan ke grup.

Getaran di Balik Pintu Studio

Pukul sepuluh kurang seperempat, aku dan Zidan sudah tiba di Studio 10. Lantai keramik putih di depan studio menjadi saksi bisu obrolan kami, sembari menunggu Akbar dan si vokalis misterius.

"Dan, jadi nanti kita hajar lagu Karma?" tanyaku, jemariku sibuk membuka tutup botol teh.

"Pasti, dong! Melodinya udah gue hajar dari semalem. Yang penting vokalnya dulu ini, sanggup gak dia?" jawab Zidan, jemarinya lincah menyulut sebatang rokok. Asap mengepul santai dari bibirnya.

Dia memang perokok berat. Sehari bisa menghabiskan hampir sebungkus penuh. Mungkin itu rahasia tubuh kurusnya; asupan utamanya asap dari lintingan kertas dan tembakau, ditemani dua sampai tiga cangkir kopi hitam yang tak pernah absen.

"Iya, sih. Lagu itu lumayan ganas. Apalagi Kikan suaranya memang mengangkasa," sahutku.

Kikan, vokalis Cokelat. Aku memang menggilai musik rock, dan di Indonesia, Cokelat adalah salah satu band rock dengan vokalis perempuan yang selalu memukau.

Waktu terus merangkak. Pukul sepuluh lebih lima menit, bayangan Akbar dan temannya belum juga menampakkan diri. Merasa tak enak hati membuang waktu booking yang berharga, aku dan Zidan akhirnya memutuskan masuk studio lebih dulu. Waktu sewa studio itu sakral: jam 10 booking, jam 11 selesai, tak lebih tak kurang, mungkin hanya bonus lima menit dari kemurahan hati Om Bob.

Sepuluh menit kami di dalam, masing-masing asyik dengan alat musik. Aku menggebuk drum, Zidan memetik gitar. Tiba-tiba, pintu studio yang persis di hadapan drum terbuka lebar. Akbar melangkah masuk. Dari balik pintu, samar terlihat bayangan seseorang, seolah malu-malu untuk menampakkan diri. Perlahan, sesosok wanita melangkahkan kaki, masuk. Dia teman sekolah yang diajak Akbar.

Aku yang masih duduk, memegang stik drum, seolah terpaku. Sorot mataku terkunci pada senyum manisnya yang melambaikan tangan ke arahku dan Zidan, diiringi sapaan lembut, "Hai." Kami berdua hanya bisa membalas dengan senyum kaku.

Perkenalan pun singkat, hanya nama dan tempat tinggal. Jantungku berdesir, rasanya tak ingin kuakhiri perkenalan ini. Ingin sekali menghentikan latihan, lalu mengajaknya keluar, menghabiskan waktu berdua saja dengannya. Tapi itu hanyalah bisikan egois dari sisi tergelapku, dan aku tak sudi dikendalikan.

Lihat selengkapnya