Dilan 1990

Mizan Publishing
Chapter #3

Dia Adalah Dilan

1

Hari Senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada satu pun orang yang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak lebih. Boleh, kan?

Tapi sampai upacara bendera sudah akan selesai, orang itu, peramal itu, tak berhasil kutemukan. Di manakah dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu.

Ah, ngapain juga kupikirin! Emang, siapa dia?

--ooo--

Seorang guru, tiba-tiba memberi komando melalui pengeras suara agar seluruh siswa jangan dulu bubar dari barisan.

Kupandang ke depan karena ingin tahu soal apakah gerangan tapi justru di saat itulah aku bisa melihat dirinya.

Sang Peramal itu ada di sana, berdiri di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya.

Berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.

Dia dan dua orang temannya disebut PKI oleh guru BP. Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut PKI hanya gara-gara tidak ikut upacara bendera. Entahlah.

Nun di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memandangnya di tengah barisan peserta upacara, yaitu diriku.

Atau tidak?

Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku juga sedang memandangnya dari jauh dengan perasaan yang sulit kumengerti.

“Dia lagi!” bisik Revi seperti ngomong sendiri.

Revi adalah teman sekelas, yang berdiri di sampingku.

“Siapa dia?” kutanya Revi

“Dilan.”

“Oh.”

Itulah harinya, hari aku tahu namanya.

Kata Rani, di kelas, setelah upacara bendera, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota geng motor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima Tempur.

Oh, ya, ya, aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake pilox. Oh, ternyata dia orangnya!

Aku betul-betul jadi takut. Saat itu, aku berpikir Dilan pasti sangat nakal dan mungkin jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga.

Lagi pun kalau benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh, siapa pun dirinya, ayahku seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.

Tapi, aku harus menjauh darinya. Jangan biarkan dia melakukan apa pun yang akan membuatku dalam kesulitan. Aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk mengenal anak nakal seperti itu secara lebih jauh.

Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati. Dan tidak perlu terlalu menggubris apa pun yang ia lakukan padaku, jika itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan pendekatan.

Ini bukan aku bermaksud kasar kepadanya, tapi karena aku tahu itu harus.

Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah tahu siapa Beni. Harusnya, dia mundur daripada harus kecewa karena cinta yang tak sampai.

--ooo--

Bubar dari sekolah, cuaca sedang mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor.

Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.

“Kamu pulang naik angkot?” dia nanya.

Kujawab dengan anggukan yang sedikit agak judes. Harusnya itu cukup untuk membuat dia tahu bahwa aku sedang tidak ingin diganggu.

Heran, biasanya aku senang, entah mengapa hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam menilainya.

“Aku ikut ...,” katanya di atas motor yang sengaja dibikin pelan untuk sejajar denganku.

“Ikut apa?” tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha melihat ke arahnya. Aku hanya ingin waspada.

“Naik angkot,” jawabnya.

“Gak usah,” kataku sambil memandangnya sebentar.

Lihat selengkapnya