1
Aku Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Oktober 1972 dan sudah mandi.
Sekarang, waktu nulis buku ini, aku tinggal di Kemang, di daerah Jakarta Selatan. Di sebuah rumah dengan luas tanah 124 meter persegi dan luas bangunan 185 meter persegi. Tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dan tidak dijual.
Itu adalah rumah kami yang baru, yang kami tempati sejak lima bulan yang lalu setelah rumahku yang di Jakarta Pusat dijual.
Malam ini, Minggu, tanggal 25 Januari 2015, pukul 22:19 Waktu Indonesia bagian Barat dan sepi, aku sedang di kamarku, menikmati kopi susu, setelah tadi baru selesai shalat Isya, dan terus makan rambutan yang kubeli sepulang dari mengantar suamiku ke stasiun kereta api karena ada urusan pekerjaan di Cirebon. Sedangkan, anakku sudah tidur di kamarnya dari sejak pukul sembilan tadi.
Di luar sedang hujan dan angin berhembus cukup kencang. Mick Jagger lagi bersama Rolling Stones di dalam komputerku, menyanyikan lagu-lagu lamanya yang bagus, menemani aku yang sedang menyesuaikan diri dengan cuaca Jakarta, setelah tadi membaca sebuah buku yang kuambil dari dalam laci mejaku, yaitu buku dengan judul:
“Dilan, Dia Adalah Dilanku, Tahun 1990”
Itu adalah buku yang aku tulis sendiri dan sudah beredar di semua toko buku kesayangan pemiliknya.
Di buku itu, aku bercerita tentang kehidupan masa laluku, pada waktu masih SMA di Bandung tahun 1990, yaitu waktu aku masih remaja, waktu aku masih harus dimaklumi kalau emosinya belum seimbang sehingga kadang-kadang suka susah mengontrol diri.
Saat itu, aku masih remaja dan boleh dikatakan belum dewasa, dan belum mampu menghadapi masalah dengan benar, sehingga harus maklum kalau kadangkadang ketika berusaha menyelesaikan satu masalah justeru malah menimbulkan masalah yang lainnya.
2
Pada bulan September tahun 1990, yaitu di sekolahku yang baru, yang ada di daerah Buah Batu, Bandung, aku mulai mengenal orang bernama Dilan. Waktu itu, aku adalah murid baru, baru dua minggu, pindahan dari Jakarta karena harus ikut orangtua yang dipindah tugasnya ke Bandung.
Dilan yang aku maksud adalah yang dulu tinggal di perumahan Riung Bandung. Rambutnya sering terlihat berantakan, seperti gak pernah disisir selama hidupnya dan suka pake jaket jeans belel atau jaket Army Korea pemberian ayahnya yang tentara.
Kalau ke sekolah cuma membawa satu buku tulis, yang dia selipkan di kantong belakang celana seragamnya, seolah-olah baginya, hanya dengan satu buku saja sudah akan cukup untuk mencatat semua mata pelajaran yang ada di dunia dan ditambah oleh puisi yang suka dia tulis di halaman belakangnya.
Tentu saja hal itu dianggap tidak baik oleh Menteri Pendidikan atau oleh guru-guru sehingga dia sering ditegur setiap kalau ada acara pemeriksaan buku catatan. Mungkin, kamu juga sama seperti dia, tapi Dilan selalu mendapat ranking pertama atau minimal kedua di kelasnya. Si Zael, teman sekelasku, dia juga sama, bawa buku tulisnya cuma satu, tapi nilainya jeblok, dan itu bagiku adalah kekonyolan yang tiada tara!
Dilan 1990
“Bukuku ada di sini,” jawab Dilan suatu hari, menunjuk kepalanya, ketika aku tanya kenapa cuma bawa satu buku. “Kalau pulpennya, masih di toko, sih. Nanti aja beli ya.”
Habis itu, aku cuma bisa tersenyum.
Dilan juga sama, waktu itu masih remaja, yaitu masih anak remaja yang harus dimaklumi kalau punya jiwa pemberontak dan tidak suka diatur. Yaitu, anak remaja yang masih harus dimaklumi kalau kadang-kadang tidak bisa menahan keinginannya. Yaitu, anak remaja yang masih harus dimaklumi kalau unek-unek di dalam hatinya suka berubah menjadi rasa dendam karena disimpan.
Di sekolahnya, Dilan dikenal sebagai Panglima Tempur dari salah satu geng motor yang ada di Bandung. Ke mana-mana selalu memakai motor jenis CB Gelatik yang sudah dia modif.
Dilan di atas motor CB-nya
“Emang jadi anggota geng motor syaratnya apa?”
“Harus punya motor,” jawab Dilan.
“Berarti kalau mau jadi anggota geng kereta harus punya kereta, ya?” kataku dengan nada seperti orang kesal.
Dilan ketawa.
Dulu, anak-anak geng motor, hampir pasti adalah anak dari keluarga ekonomi menengah ke atas karena faktanya hanya kalangan merekalah yang mampu beli motor. Berbeda dengan sekarang, rasanya hampir semua orang sudah bisa beli motor. Udah pada kaya atau karena jaman sekarang sudah ada kemudahan kredit.
Berarti, dengan begitu, pada zaman dulu, syarat untuk bisa menjadi anggota geng motor adalah, selain mau, harus punya orangtua dengan ekonomi berkecukupan.
“Kalau gak punya motor, namanya geng bonceng motor,” katanya. “Ini memang motor ayahku,” kata Dilan lagi. “Bukan motor hasil keringatku sendiri. Kau tau kenapa aku pake?”
“Kenapa?”
“Biar orang pada tau aku belum bisa beli motor dengan uang sendiri,” jawab Dilan berbisik.
“Hehehe.”
“Jangan komplain: Ah, itu, kan, motor orangtuanya.”
“Kenapa?” kutanya.
“Gak akan kudenger.”
“Kenapa? Kenapa gak didenger?” kutanya lagi.
“Karena kalau ayahnya sudah bisa beliin dia motor, dia gak akan ngomong gitu lagi.”
“Hehehe.”
Biar bagaimanapun, itulah Dilan, yang kemudian resmi berpacaran denganku. Dimulai di warung Bi Eem, pada tanggal 22 Desember tahun 1990, dinyatakan secara lisan dan di atas kertas bermeterai untuk dijadikan Dokumen Perasaan katanya.
Tapi, aku mau pacaran dengan Dilan bukan karena dia anggota geng motor atau karena dia dikenal sebagai anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Sama sekali bukan!!!
Sebab kalau aku mau ke dia karena geng motornya, ada banyak anak geng motor lain yang bisa kupilih sembarangan. Kalau aku mau sama dia disebabkan oleh karena dia berasal dari keluarga berada, ya, udah terusin aja pacaran sama Beni, dia orang kaya, yaitu pacarku yang aku putusin karena gak tahu perasaan, temperamental dan sombong, juga cenderung merendahkan orang lain.
“Boleh gak kalau aku gak suka kamu ikut-ikutan geng motor?” kutanya Dilan suatu hari.
“Denger ya, Lia. Kamu harus tau, senakal-nakalnya anak geng motor, mereka juga shalat pada waktu ujian praktek Agama,” katanya.
Mendengar itu langsung kuacak-acak rambutnya karena aku kesal!