1
Waktu itu, tanggal 22 Desember 1990, sekitar pukul tiga sore, aku dan Dilan berdua naik motor menyusuri Jalan Buah Batu untuk mengantar aku pulang.
Rasanya, jalan itu, Jalan Buah Batu itu, dulu, masih sepi sekali. Belum begitu banyak orang, belum begitu banyak kendaraan. Belum begitu banyak spanduk dan baliho. Trotoar juga belum dipenuhi oleh pedagang kaki lima. Di tempat-tempat tertentu malahan masih bisa kulihat sawah meskipun tidak begitu banyak.
Rasanya, jalan itu, Jalan Buah Batu itu, bukan lagi milik Pemkot, bukan lagi milik Bapak Ateng Wahyudi (Wali Kota Bandung waktu itu), melainkan milik aku dan Dilan. Sebagai keindahan yang nyata bahwa Dinas Bina Marga telah sengaja membuat jalan itu memang khusus untuk kami. Khusus untuk merayakan hari resmi kami mulai berpacaran pada hari itu.
Perasaanku, terasa lebih deras dari hujan dan melambung lebih ringan dibanding udara. Di hatiku adalah dia, dengan perasaan hangat yang kumiliki. Di kepalaku adalah dia, dengan semua sensasiku dan alam imajinasiku yang melayang.
Kupeluk Dilan bagai tak boleh ada yang ngambil selain diriku. Kupeluk Dilan sambil mengenang lagi saat pertama kali aku mulai mengenalnya. Aku tersenyum (kadangkadang diiringi rasa bangga) bahwa Panglima Tempur itu, anak bandel itu, adalah yang kini jadi milikku, adalah yang bisa kuacak-acak rambutnya kalau aku sedang kesal kepadanya. Dan itu, rasanya, tak akan ada selain aku yang berani melakukannya.
Panglima Tempur itu adalah orang yang dulu pernah kudatangi ketika dia sedang ngumpul bersama temantemannya di warung Bi Eem, untuk aku suruh ngerjain tugas-tugas PR-ku, padahal waktu itu aku dan dia belum resmi berpacaran.
“Kerjain, ya?! Ya, ya, ya?!” kataku sambil senyum merayu, menatap wajahnya dan menyerahkan dua buku yang ada tugas PR-nya. “Aku mau main ke Palaguna, sama-teman-teman. Dadaaah, Dilan!”
“Hati-hati,” katanya.
“Iya.”
Dilan kulihat cuma tersenyum, ketika aku pergi bersama Revi, Ratih, dan Wati karena ada acara di Palaguna Plaza, yaitu mall pertama di Bandung, yang dulu selalu menjadi tujuan utama buat orang Bandung pada nongkrong dan belanja. Sekarang, di sekeliling bangunan itu sudah ditutupi oleh seng karena mau dirobohkan.
Dan, tugas-tugas PR-ku itu memang dia kerjakan, tapi dengan dia tambahi puisi di halaman belakang bukunya:
KALAU
“Kalau limun menyegarkan, kamu lebih. Kalau cokelat diisi kacang mete katanya enak, tapi kamu lebih. Atau, ada roti diisi ikan tuna berbumbu daun kemangi, kamu lebih. Kamu itu lebih sehat dari buah-buahan. Tahu gak? Lebih berwarna dari pelangi. Lebih segar dari pagi. Jadi, kamu harus mengerti, ya, aku menyukaimu sampai tujuh ratus turunan, ditambah 500 turunan lagi.”
-Dilan
Atau ini:
“Kalau aku jadi presiden yang harus mencintai seluruh rakyatnya, aduh, maaf, aku pasti tidak bisa karena aku cuma suka Milea.”
-Dilan
Atau ini:
“PR-ku adalah merindukanmu. Lebih kuat dari Matematika. Lebih luas dari Fisika. Lebih kerasa dari Biologi.”
-Dilan
Atau ini:
“Aku ingin sekolah yang memberi tahu lebih banyak tentangmu melalui pendekatan Fisika dan Biologi.”
-Dilan
Aku nebak, puisi yang terakhir itu pasti ada hubungannya dengan aku sebagai anak Biologi dan Dilan sebagai anak Fisika.
Jawab Dilan, “Iya.”
2
Tanggal 22 Desember 1990 itu adalah harinya, hari yang benar-benar menyenangkan bagiku.
Di bawah guyuran hujan, kami tertawa terbahakbahak dan telibat ke dalam berbagai perbincangan. Seolah-olah semuanya berakhir dengan baik setelah melewati semua peristiwa yang aku alami.
“Aku bisa berhentiin hujan,” katanya.
“Caranya?” tanyaku sesaat setelah aku diam.
“Bentar,” kata Dilan.
Lalu, dia berseru: “Berhenti, hei, hujan!” Kemudian, Dilan diam, menunggu hasilnya.
Aku juga diam.
“Kok, gak berhenti?” kutanya.
“Gak denger dia.”
“Gak punya kuping?”
“Iya.”
Kami ketawa.
“Aku bisa berhentiin motor,” katanya.
“Aku tau caranya,” kataku.
“Gimana?”
“Rem aja,” kataku. “Gampang, kan?”
“Kok, tau?” jawab Dilan.
“Bayi juga tau.”
“Bayi ajaib.”
Dia ketawa, aku juga.
“Aku bisa menyihir kamu jadi tambah erat meluknya,” katanya.
“Gak usah disuruuuh …,” kataku berseru bagai bisa menembus suara hujan.
“Kenapa?” tanya Dilan.
“Bisa sendiriiiiii!!!”