Dilan 1991

Mizan Publishing
Chapter #3

Cerita Dilan

1

Sorenya, kira-kira pukul lima, Wati nelepon menggunakan telepon umum, katanya dia lagi berdua dengan Piyan di warung mi kocok Mang Dadeng.

“Oh? Deket, dong?” kataku, karena tempat itu memang tidak jauh dari rumahku. Lokasinya di seberang jalan Hotel Horison. Hotel Horison waktu itu sedang dibangun.

“Sini, mampir ke rumah, Wat,” kuajak dia.

“Iya. Nanti bilang dulu ke Piyan.”

“Ditunggu, ya.”

“Iya,” katanya. “Dilan gimana?”

“Udah, nanti aja ngobrolnya, di rumah.”

“Siap.”

Gak lama dari itu, Wati dan Piyan datang dengan menggunakan sepeda motor Honda Super Cup. Katanya, motor itu milik ayah Piyan.

“Sepi,” kata Wati, “pada ke mana?”

“Ibu lagi nganter Airin, les bahasa Inggris,” kujawab.

Kalau tidak salah waktu itu, Airin baru seminggu les bahasa Inggris di Harvard English Course, Jalan Buah Batu. Tempatnya tidak jauh dari rumahku.

Kemudian, kami ngobrol membahas soal tadi siang Dilan berantem dengan Anhar. Dan, Dilan pasti akan dipecat karena hal itu terjadi pada masa di mana Dilan masih dalam status hukuman percobaan.

Aku langsung merasa risau oleh karena memikirkan hal itu karena bisa kubayangkan bagaimana seandainya kalau benar Dilan dipecat, aku pasti akan merasa kesepian di sekolah kalau tidak ada Dilan. Pasti aku gak akan semangat lagi kalau pergi ke sekolah.

Bukan cuma itu, aku juga memikirkan masa depannya. Aku pasti akan sedih kalau Dilan harus berhenti sekolah. Masa depannya akan suram. Masa depannya akan terputus karena katanya pendidikan adalah hal penting untuk meraih masa depan yang lebih baik, setidaknya itulah yang aku pikirkan saat itu.

Semua pikiran dan perasaan mengenai soal itu betulbetul berkumpul memenuhi kepalaku. Tapi tadi, di motor, pas pulang sekolah, Dilan bilang gak usah dipikirin.

“Iya, bener. Udahlah, kita lihat aja nanti,” kata Piyan berusaha membuat aku tenang. “Mudah-mudahan gak dipecat.”

“Aamiin.”

2

Karena topik yang sedang dibahas adalah soal Dilan, akhirnya obrolan jadi ngelantur, enggak cuma ngebahas Dilan yang berantem dengan Anhar, tapi juga ngebahas tentang kelakuan Dilan pada masa-masa yang lalu.

Wati juga cerita, terutama tentang keluarga besar Dilan. Katanya, dulu, waktu pada masih kecil, tiap ada libur panjang, si Bunda suka ngajak Wati, dan saudaranya yang lain, untuk bergabung dengan anak-anak si Bunda, camping di depan rumahnya.

“Dilan ikut?” tanyaku sambil senyum.

“Ikut,” jawab Wati.

“Hihihi. Lucu.”

“Kalau kedinginan, pada masuk ke rumah,” kata Wati.

“Hehehe. Dilan ikut masuk juga?”

“Dia yang ngajak!” jawab Wati langsung.

“Hahaha.”

Ah, ngomongin keluarga Dilan, aku jadi langsung rindu Bunda, jadi langsung rindu Disa.

“Eh, ayah Dilan pangkatnya apa, sih?” kutanya.

“Suka dipanggil Letnan,” jawab Wati. “Gak tau, tuh.”

“Oh.”

Serius, hari itu aku merasa terhibur oleh cerita-cerita mereka tentang masa lalu Dilan. Sejenak bisa membantu aku melupakan pikiran di kepalaku yang sudah membuat aku merasa risau itu.

Seolah-olah hal itu sengaja mereka lakukan, sematamata hanya ingin membuat aku jadi terhibur. Dan jika benar begitu, mereka sudah berhasil mencapai tujuannya.

Aku merasa sangat beruntung memiliki teman yang berada bersamaku pada saat aku betul-betul membutuhkan. Sesuatu yang baik untuk merasa terhibur dan merasa tidak pernah kehilangan harapan!

“Dulu,” Piyan mengenang. “Waktu kelas satu. Wali kelas kami, Bu Dewi, pernah bilang di depan kelas, katanya Dilan itu biang kerok.”

“Kenapa gitu?” tanya Wati.

“Waktu kelas satu, Piyan sekelas juga?” kutanya.

“Iya.”

“Kenapa dibilang biang kerok?” kutanya.

“Kasus apa, ya, waktu itu?” Piyan bagai mikir, berusaha mengingat kejadiannya. “Oh, itu … berantem di kelas, sama si Yopi.”

“Yopi, anak Pak Ade?” tanya Wati. Entah siapa Pak Ade yang dimaksud oleh Wati.

“Iya.”

“Eh? Si Yopi pindah sekolah, ya?” tanya Wati.

“Iya, ke Kalimantan,” jawab Piyan.

“Gara-gara apa Dilan sama Yopi berantem?” kutanya.

“Gak tau, tuh. Si Yopi-nya nantang. Katanya, jangan ngejago.”

“Emang Dilan ngejago?” kutanya, merasa gak percaya.

“Yopi belum tau kayaknya. Kan, baru pada kelas satu. Belum pada kenal.”

“Oh.”

“Dibilang biang kerok, apa kata Dilan?” tanya Wati dengan wajah serius.

“Ya, gitu aja. Gak bilang apa-apa,” jawab Piyan.

Aku diam dan merasa gak enak mendengar Dilan dibilang biang kerok. Entah mengapa, padahal kejadiannya sudah lama sekali.

“Tau gak, pas pelajaran Ibu Dewi lagi, Dilan bawa obat nyamuk,” lanjut Piyan sambil senyum.

“Buat apa?”

“Obat nyamuknya, dia nyalain,” jawab Piyan senyum bagai sedang nahan ketawa. “Yang tau cuma Piyan sama si Bambang.”

“Terus?” kataku.

“Terus, obat nyamuknya disimpen di bawah mejanya,” jawab Piyan.

“Di bawah mejanya sendiri?” tanya Wati dengan wajah sedikit bingung.

“Iya. Di atas obat nyamuknya disimpen petasan,” jawab Piyan tersenyum. “Kan, apinya ngerembet, tuh, jadi pas kena petasan langsung meledak!”

“Hahaha.” Wati ketawa. “Ngapaiiin!?” tanyanya kayak orang yang kesel karena melihat orang melakukan perbuatan yang tidak jelas.

“Sekelas gempar tau gak?” kata Piyan ketawa.

“Terus?” kutanya sambil senyum.

“Iya. Terus, Dilan kayak yang lemes gitu,” jawab Piyan.

“Lho? Kan, dia yang nyalain?” kata Wati.

“Iya. Dia bilang ke Bu Dewi, katanya bukan cuma dia yang biang kerok di kelas. Katanya, dia juga jadi korban.”

“Hahaha!!! Fitnah!”

Aku ketawa, Wati juga, Piyan juga.

“Terus, Bu Dewi marah,” lanjut Piyan dengan suara ada sisa ketawa.

“Ke Dilan?” kutanya.

“Ya, gak tau ke siapa. Dia, kan, gak tau siapa yang nyalainnya.”

“Apa katanya?” kutanya.

“Keterlaluan, katanya!” jawab Piyan. “Pelakunya harus ngaku!!! Ini gak bisa diterima! Katanya.”

“Terus, Dilan-nya gimana?” kutanya sambil senyum.

“Si Dilan-nya? Duduk lemes gitu. Acting, kayak yang beneran korban teraniaya. Hahaha.”

“Hahaha.”

“Pasti pelakunya lebih biang kerok lagi!” kata Wati.

Aku, Wati, dan Piyan ketawa. Si Bibi datang bawa minuman.

“Penjahat aja jadi korban, pasti pelakunya lebih jahat lagi,” kata Piyan ketawa.

“Hahaha.”

“Pas pulangnya, Dilan ketawa-ketawa. Dia bilang ke Piyan, jangankan manusia, jin aja aku fitnah katanya. Hahaha.”

“Fitnah gimana?” kutanya dengan suara masih ada sisa ketawa.

“Iya, katanya, dulu, waktu SMP, pas bulan puasa, kan suka pada tidur di mesjid, tuh. Nah, jam tiga malam, si Dilan diam-diam tidurnya pindah ke dalam bedug.”

“Pindah sendiri?” aku senyum.

“Iya. Pindah sendiri,” jawab Piyan.

“Nugelo,” kata Wati menggumam. Artinya: “Orang gila.”

“Pas subuh, pas bedugnya ada yang mukul, si Dilan langsung teriak. Semua orang yang ada di mesjid jadi pada kaget, lah! Orang yang mukul bedug juga kaget kayaknya. Hahaha.”

“Hahaha. Terus, apa kata orang-orang?” tanya Wati.

“Iya, pada nyangka si Dilan dipindahin sama jin.”

Wati ketawa. Aku juga. Piyan juga.

“Jin aja sama dia mah difitnah, kan?” kata Piyan. “Pasti jinnya pada ngomong: Bohong, bukan aku yang mindahin. Hahaha.”

“Hahaha.”

“Yang kunci gembok itu gimana?” tanya Wati sambil masih ketawa.

“Kunci gembok apa?” kutanya karena ingin tahu apa yang dimaksud oleh Wati.

“Oh. Itu. Iya, kan, toilet guru suka digembok,” kata Piyan cerita. “Terus, Dilan beli gembok. Sama dia pintunya digembok lagi. Gemboknya jadi dua. Katanya kalau guru mau ke toilet, bilang, ambil kuncinya di aku.”

“Hahaha, terus?” kutanya.

Wati ketawa.

“Ya, dipanggil guru BP,” jawab Piyan.

“Pak Suripto?” kutanya.

“Iya.”

“Apa kata Pak Suripto?”

“Gak tau. Kata Dilan, kita disuruh pake seragam biar gak ada beda kelas. Toilet, kok, dibeda-bedain.”

“Hehehe.”

Beneran, aku senang sore itu. Aku senang karena mereka cerita tentang Dilan. Aku langsung rindu Dilan. Aku ingin Piyan dan Wati terus cerita tentang Dilan. Sampai kiamat kalau perlu.

“Sebenernya, Dilan itu rame,” kata Piyan.

“Iya. Sayangnya, suka berantem,” sambung Wati kayak yang kesel. “Gara-gara ikut geng motor, sih.”

“Kan, yang bukan geng motor juga ada yang berantem,” jawab Piyan.

Perhatikan bagaimana Piyan selalu berusaha membela Dilan.

“Iya, tapi jadi banyak musuh, tau?!” kata Wati.

“Iya, itu!” kataku. “Aku juga jadi cemas. Tapi, Dilan berantem sama Anhar emang salah aku, sih.”

Lalu, aku cerita, bagaimana sampai Dilan berantem sama Anhar.

Kubilang, itu diawali oleh karena aku panik karena sudah merasa berbohong ke Dilan, gara-gara pergi dengan Kang Adi. Padahal, sebelumnya aku sudah bilang ke Dilan bahwa aku akan nolak ajakan Kang Adi main ke ITB.

“Kang Adi, pembimbing kamu itu?” tanya Piyan.

“Iya,” kujawab. “Kang Adi.”

Aku memang pernah cerita ke Piyan soal Kang Adi. Kayaknya, ke Wati juga pernah, deh.

“Dilan tau dari mana kamu pergi?” tanya Wati.

“Iya. Kan, Dilan nelepon, yang nerima si Bibi,” kujawab. “Aku lupa, gak kongkalikong dulu sama si Bibi. Hahaha.”

Demi nama baikku, mereka harus tahu bahwa aku tidak benar-benar bermaksud mau bohong ke Dilan, jadi segera aku juga cerita tentang alasan mengapa akhirnya aku pergi dengan Kang Adi ke ITB.

“Oooh. Si Bibinya bilang ke Dilan, kamu pergi sama Kang Adi?” tanya Wati senyum.

“Iya. Hahaha,” kujawab.

“Hahaha.”

“Nah. Aku panik. Aku takut Dilan marah. Tadi pagi langsung kucari Dilan, sampai ke warung Bi Eem. Tapi, di sana cuma ada si Anhar sama si Susi. Ada Piyan juga, kan?” tanya aku ke Piyan.

“Iya,” kata Piyan. “Oh, tadi, tuh, gitu?”

“Iya. Terus, ya, itu ... aku berantem sama Anhar. Habisnya, aku kesel ke dia.”

“Terus, soal kamu bohong, kata Dilan apa?” tanya Wati.

“Katanya: Kalau kamu bohong, itu hak kamu, asal jangan aku yang bohong ke kamu.”

Wati dan Piyan tersenyum.

“Katanya ..., apalagi, ya?” kataku sambil mikir untuk mengingat lagi apa yang sudah dikatakan oleh Dilan. “Oh. Katanya: Kalau kamu ninggalin aku, itu hak kamu, asal jangan aku yang ninggalin kamu. Aku takut kamu kecewa.”

“Edan!” kata Wati langsung sambil senyum.

“Iya, dia bilang gitu,” kataku tersenyum.

Wati memandangku.

“Kamu emang udah jadian sama Dilan?” tanya Wati.

“Iya, aku udah jadian sama Dilan,” kujawab.

Entah mengapa, aku bisa begitu mudah berterus terang kalau ke Wati dan Piyan.

“Waaah! Kapan?” Wati nanya dengan wajah semringah.

“Tadi siang hehehe,” kujawab, “Pas habis dari ruang guru itu.”

“Waaah,” kata Wati bagai sedang terpesona.

“Jadiannya di warung Bi Eem,” kataku tersenyum.

Lalu, kujelaskan semuanya, soal kisah aku jadian sama Dilan.

“Pake meterai? Hahaha!” tanya Piyan seperti gak percaya.

“Hahaha, iya, pake meterai segala,” kataku.

“Kayak perusahaan,” timpal Wati dengan ketawa.

“Berarti, resminya baru tadi siang, ya?” tanya Piyan.

“Iya, hehehe.”

“Selamat, ya,” kata Wati sambil senyum. Kuraih tangannya yang ia ulurkan.

Piyan juga sama memberi ucapan selamat.

“Makasih,” kujawab.

“Edan si Dilan,” kata Wati.

“Kenapa gitu?” kutanya.

“Pacarnya cantik,” jawab Wati tersenyum.

“Hahaha. Makasih,” kataku.

“Kamu dulu jadian sama Piyan, gimana?” kutanya Wati.

“Emang kita pacaran?” tanya Wati ke Piyan dengan matanya yang sedikit dibelalakkan.

“Ngaku ajaaa,” kataku, tersenyum, “udah tau, kok”

“Hehehe.” Wati ketawa.

“Kita, sih, dijodohin sama Dilan. Hahaha,” jawab Piyan langsung.

“Iya. Sebenernya, aku mah, mau juga kepaksa. Hahaha,” kata Wati.

“Tapi, suka, kan?” kutanya.

“Ya, suka, sih. Hahaha,” jawab Wati. Kami ketawa.

“Pas udah jadian, Dilan bilang ke Piyan: Kamu jaga Wati, ya,” kata Piyan. “Soalnya kalau aku yang jagain, dia mah suka minta uang, katanya. Hahaha.”

“Hahaha.”

Wati ketawa, aku juga, Piyan juga.

“Oh, iya. Pas si Anhar habis nampar kamu itu,” kata Piyan. “Piyan, kan, ke warung Bi Eem lagi. Di sana udah ada Dilan. Kayaknya, Dilan tau dari Bi Eem, deh, kalau Anhar nampar kamu. Dilan marah banget kelihatannya.”

“Iya, tau dari Bi Eem kayaknya,” kataku.

“Sebelum berantem Dilan bilang mau nyari si Anhar. Si Anhar harus tau siapa pacar Lia. Gitu katanya,” kata Piyan.

Asli, pas Piyan ngomong gitu, aku sempet sedikit terperangah. Maksudku, kalau begitu, sebetulnya, waktu itu Dilan sudah menganggap aku sebagai pacarnya.

“Kenapa enggak dicegah?” kata Wati.

“Udah!” jawab Piyan. “Siapa yang bisa nahan dia? Dia bilang, siapa yang mengganggunya harus hilang.”

“Hehehe,” aku ketawa.

Tiba-tiba, telepon rumah berdering, si Bibi yang ngangkat, terus dengan berbisik dia bilang, katanya itu telepon dari Dilan.

Aaah, senangnya!

“Pacarku nelepon,” kataku dengan senyum girang pada Wati dan Piyan, lalu bergerak untuk nerima telepon dari Dilan.

“Hey,” kusapa Dilan dengan semangat.

“Hey!”

“Di mana?” kutanya.

“Di mana, ya, ini?”

“Di Bumi,” kataku tersenyum.

“Kok, tau?” tanya Dilan.

“Aku harus tau kamu di mana.”

Dilan ketawa.

“Tetanggamu udah makan belum?” tanya Dilan.

“Ih! Kok, tetangga? Bukan aku yang ditanyain?”

Lihat selengkapnya