"Lengket mulu kaya perangko!"
Donny bersuara setelah Dilara meminta diri memasuki ruang kelas. Lambaian tangannya juga kubalas seraya mengantarnya ke ujung lorong dengan tatapan lekat. Baru kemudian menarik Donny ke kantin mengajaknya beristirahat melepaskan lelah sejenak. Mengingat beberapa jam lalu berkutat dengan beberapa pelajaran yang begitu membuat kepala berdenyut pusing.
"Heran gue sama lu, Lik," ucap Donny lagi.
Aku berusaha mengabaikan, memilih menyedot es teh manis yang tersaji di depan. Seperti biasanya, aku bisa menebak kemana arah pernyataan Donny. Apalagi jika bukan kedekatanku dengan Dilara. Ia bahkan tak bosan terus mengejek ikatan persahabatanku dengan Dilara yang baginya lebih mirip sebagai sepasang kekasih.
'Di mana ada lu, di situ ada Dilara. Begitu juga sebaliknya.'
Begitu ucapan Donny yang kuingat beberapa hari lalu yang kebetulan saat itu menemani Dilara mengerjakan tugas di perpustakaan.
"Heran kenapa lagi, sih?" balasku akhirnya. Ia terus saja mengoceh melihatku yang sama sekali abai. Dan itu membuatku bosan.
"Ya soal lu dengan Dilara."
"Gue rasa, nggak ada yang salah sama gue atau pun Dilara." Kucomot pisang goreng yang asapnya masih mengepul keras membelai indra penciuman. Tanpa menoleh sama sekali kepada Donny yang kebetulan duduk di sebelah kiriku.