"Malik!"
"Ya?"
Dilara mensejajarkan langkahnya mengikutiku. Rambut kucir kudanya melambai dibelai angin, mengalun seiring langkahnya berjalan.
"Mau langsung pulang?" tanyanya. Aku mengangguk, membenarkan.
"Jangan dulu, sih."
Aku menatapnya, bertanya dengan mata mengapa?
"Temenin gue ke toko buku, mau, ya?"
Aku melirik jam, pukul 15:00. Kemudian menggeleng. Kemudian menstarter motor menuju keluar parkiran.
"Ayolah, Lik. Sebentar aja," rayunya mengikutiku di belakang.
Aku menggeleng, mengingat pekerjaan yang sudah menanti. Ya, jika tak ada kelas di kampus, siangnya aku harus bekerja di rumah makan sampai malam. Hitung-hitung penghasilan yang kudapat bisa membayar kepentingan di kampus juga cukup untuk sehari makan.
"Maliik, ayooo. Temenin gue, plis!"
"Gue kerjaa, Dilaa."
Ia diam. Mematung di depan motorku. Seakan sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, senyum terbit di wajahnya.
"Gimana kalo kita ke tempat kerja lu dulu. Ntar dari sana kita ke toko buku."
Aku memutar mata, malas. Sifat egoisnya tak pernah berubah sama sekali. Apapun yang ia mau harus segera terpenuhi.
"Gue kerja sampe malam."
"Gue tungguin."
"Besok aja lah."
"Gamau, maunya hari ini!"
"Ya Tuhan, Dilaraa."
Aku mengerang frustasi, sesekali melirik jam yang terus bergerak cepat.
"Yaudah. Kita ke toko buku sekarang," ucapku yang mendapat tatapan kaget dari Dilara.
"Loh, nggak ke tempat kerja lu dulu?"