Neuheun, Aceh April 2006
BARAK-barak pengungsi tsunami berdiri kokoh menentang terik mentari yang memanggang. Anselma Montera, pendiri dan CEO perusahaan kosmetika The Inner Beauty International Limited, sponsor berdirinya barak dengan fasilitas layanan masyarakat sebagai penunjang, sedang berada di salah satu satu barak berbentuk rumah panggung yang panjang. Dia berbicara dengan pasangan suami-istri pengungsi, Azhar dan Cut, dengan bantuan penerjemah di bawah guyuran sorot lampu kamera puluhan wartawan dalam dan luar negeri.
Butir-butir peluh berkejaran di wajah Anselma dan para jurnalis.
Ini acara kedua setelah sebelumnya aku memimpin jumpa pers setengah jam silam. Saat ini tugas penerjemah dijalankan oleh Ningsih, kawan sekantorku. Aku menunggu di bawah, menyaksikan antusiasme para kuli tinta dan aktivis LSM yang selama ini banyak dibantu program layanan masyarakat The Inner Beauty, satu- satunya perusahaan kosmestika global yang tak pernah menguji produk mereka di lab dengan mengorbankan hewan seperti lazimnya dilakukan produsen kosmetika lain.
“Assalamu’alaikum. Apa kabar, Brother?” Seuntai suara lembut mengalungi telingaku dari sisi kiri.
Aku menoleh. Seorang perempuan berhijab cokelat senada dengan kulitnya bertanya. “Kamu Jo, bukan? Dulu kuliah di Leeds?”
Kudengar dialek yang berbeda dengan kebanyakan cara orang Aceh bicara. “Kabar baik,” ujarku sembari mengais arsip ingatan dan memperhatikan penampilannya. Namun tetap saja aku gagal menemukan sepotong nama yang bisa kuucapkan untuk menyapanya.
“Betul, saya Johan. Maaf, ibu siapa ya?”
“Innalillahi. Jadi kamu betul-betul lupa denganku?” Sinar matanya meredup.
Astaga, aku paling benci saat seperti ini! Ketika bertemu orang yang mengenalku, tapi aku gagal mengingat identitasnya.