Kensington, London Rabu, 3 September 1997
AKU terkesima di depan Kensington Palace.
Aku terkesima bukan karena sedang berada di halaman luas bangunan megah berwarna merah bata.
Bukan juga karena berdiri di luar gerbang pagar yang menjulang kokoh menatap angkasa. Antara gerbang dengan posisiku berdiri terpisah belasan meter akibat pita pembatas yang dipasang oleh otorita istana atau oleh kepolisian London, agar tak ada pengunjung yang bisa maju lebih dekat.
Aku terkesima juga bukan oleh bentuk istana yang melebar bangga, melainkan oleh hamparan samudera bunga terluas yang belum pernah kusaksikan sebelumnya.
Bunga-bunga cantik itu tidak berada pada ranting pohon di dalam sebuah taman, melainkan tersusun dalam buket beragam ukuran. Dari sekuntum mawar merah dalam plastik transparan, sampai stickwerk yang berdiri gagah menampilkan barisan sedih kalimat kehilangan.
Hamparan bunga menyenangkan bagi hiburan mata karena diiringi taburan boneka beragam bentuk, memento aneka jenis, larik-larik puisi lara, kalimat-kalimat nestapa, potongan judul koran dan tabloid, foto- foto berbagai ukuran dari seorang perempuan berambut pirang dengan pipi tirus dan dagu lancip, serta lilin-lilin kecil dengan lidah api redup seakan segan hidup.
Para pengunjung berjongkok untuk membaca kalimat-kalimat duka yang membuat mata mereka berkabut. Jarang sekali yang berbicara, karena tersandera dalam gundah. Kalaupun ada, mereka melakukannya dengan suara serendah mungkin.
Tak terbilang jumlahnya para ibu yang datang bersama seorang bocah, dengan tangan kiri memegang bunga dan tangan kanan memegang lilin yang menyala.
Pendar mata anak-anak berwarna biru atau hijau yang sangat lucu menggemaskan, seperti gadis cilik dengan rambut dikuncir ekor kuda yang berdiri tak jauh dariku.
Entah pikiran apa yang melintas di kepala kecilnya.
Tak sedikit juga yang berdoa khusyuk. Tiga wanita tua dengan wajah khas Asia Selatan tak henti mengucurkan air mata sambil mengucapkan kalimat yang tak kuketahui artinya, tetapi kuterka mungkin doa dalam agama Hindu.
Seorang lelaki berpakaian rabi Yahudi tegak mematung dengan mulut komat-kamit mendaraskan kalimat dalam bahasa Ibrani. Empat orang perempuan—tak jelas apakah mereka muda atau tua—dengan seluruh tubuh tertutup burqa yang hanya memperlihatkan bagian mata, berdiri di samping gerombolan anak punk dengan rambut kaku mencuat.
Seorang lelaki gemuk dengan jaket dan topi pet menggendong kucing angora tambun yang meringkuk ngantuk. Wajah keduanya memperlihatkan kemiripan yang mencengangkan. Pengunjung yang membawa anjing jauh lebih banyak lagi, dari chow chow, beagle, dalmatian sampai doberman. Beberapa orang membawa iguana di bahu mereka. Aku tak tahu apakah para pecinta hewan ini sengaja datang untuk menunjukkan bahwa binatang peliharaan mereka pun ikut patah semangat, atau mereka sedang dalam urusan lain dan hanya sekadar lewat..
Semua kemurungan perkabungan ini tertuju untuk, dan disebabkan oleh, seorang wanita yang tewas dalam kecelakaan tragis tiga hari lalu. Seorang wanita yang bertakhta di hati warga Britania Raya.
Umurnya baru 36 tahun ketika maut menjemput.
Jika ungkapan ‘hidup dimulai saat usia 40’ itu benar, maka perempuan malang itu masih butuh empat tahun lagi untuk memulai kehidupannya meski—dan inilah ironisnya—kisah hidupnya sudah dikupas habis di pelbagai halaman media cetak, siaran radio, dan talkshow televisi. Tak ada lagi yang tersisa, tak ada lagi yang tersembunyi. Dari kisah masa kecilnya, pengalaman sebagai guru taman kanak-kanak, sampai penderitaan hati sebagai istri seorang putra mahkota.
Perempuan itu bernama Diana Frances Spencer.
Perempuan yang bukan seorang ratu, tak akan pernah menjadi ratu dengan tiara di kepala dan singgasana menopang tubuhnya. Namun kharismanya terhujam dalam di hati masyarakat yang menyebutnya ‘putri mahkota kami’. People’s Princess. Jika getar rasa bisa dikonversi ke dalam Skala Richter, barangkali gempa dukacita yang terjadi saat ini melebihi 9 SR, sebuah bencana yang mengakibatkan datangnya tsunami air mata.
Malam semakin matang di cakrawala Britania. Untuk semua pemandangan dramatis nyaris surealis ini, aku bersyukur keputusanku datang ke London sangat tepat. Sebuah pilihan tak pernah kupikirkan akan kulakukan karena bagiku ‘kematian adalah kematian’—siapa pun yang mengalaminya. Sesederhana itu.
Bukannya aku menganggap remeh kematian. Tidak sama sekali.
Namun liputan media massa yang luar biasa menggila sehingga semua headline koran, obrolan di radio, acara di televisi—apa pun kanal yang dipilih—hanya tentang Diana, Diana, dan Diana, maka aku putuskan untuk rela menempuh jarak 300 kilometer selama tiga jam dengan kereta api sebelum turun di stasiun St. Pancras siang tadi. Pada saat turun, sempat kudengar seseorang berkata kepada kawan perjalanannya. “Orang-orang bisa datang ke London kapan saja, tapi tak ada yang lebih istimewa dari kehadiran pada hari-hari ini untuk mengikuti upacara pemakaman Diana.” Aku baru tahu betapa benarnya perkataan itu beberapa hari kemudian.
***
AKU belum sebulan di Inggris, persisnya baru tiga pekan, untuk mengikuti program kursus singkat bidang komunikasi dan media di University of Leeds. Kalau ditanya bagaimana aku bisa sampai di sini, jawaban logisnya adalah “aku tidak tahu”. Sungguh. Ini bukan basa-basi.
Aku alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Begitu lulus, aku tak sempat menerapkan ilmu Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata yang kupelajari, karena sekitar 1,5 bulan sebelum diwisuda aku diterima bekerja di sebuah perusahaan kehumasan.
Kantor ini memang bukan termasuk tiga besar PR Agency di Tanah Air, tetapi mereka menerapkan sebuah kebijakan yang sangat kuhargai: aku diperbolehkan bekerja setelah selesai dengan semua urusan wisuda.
Kenapa seorang lulusan IPB, fakultas kehutanan pula, bisa diterima di perusahaan humas? Pertanyaan itu lumayan sering kuterima, dan biasanya kutanyakan balik, “Kenapa tidak?” Sebab dalam kenyataannya, alumni kampusku memang tersebar di banyak bidang pekerjaan yang sering tak ada kaitannya dengan pertanian. Ada yang masuk media massa dan berkarir sebagai jurnalis, tak sedikit yang bekerja di sektor perbankan dan menjadi bankir profesional, selain ada juga yang menggeluti industri manufaktur dan menjadi pengusaha makmur.
Akibat begitu mudahnya menemukan lulusan kampusku di segala bidang pekerjaan, maka berkembanglah kelakar bahwa jangan-jangan kepanjangan IPB itu adalah ‘Institut Pleksibel Banget’. Sebagian kawanku menganggapnya terlalu serius sebagai olok-olok yang sinis dari orang-orang yang iri. Aku justru melihatnya sebagai pujian terselubung akan potensi alumni yang siap ditempa di mana saja, dengan metode apa saja, untuk menjadi siapa saja. “Pleksibel itu kata yang bagus, karena menunjukkan kemampuan kita membangun negeri di berbagai bidang,” ujarku dalam sebuah pertemuan alumni.
Tetapi aku harus jujur mengatakan bahwa menjelang masuk kerja di hari pertama, aku cemas luar biasa. Jauh lebih cemas dibandingkan menghadapi seluruh ujian yang pernah kuhadapi dijadikan satu. Apalagi mengingat jurusan kuliahku yang ‘nggak nyambung’ dengan pekerjaan ini. Bayangkanlah aku yang selama bertahun-tahun mempelajari sumber daya hutan, kini harus mempelajari ‘sumber daya klien’: manusia dan perusahaan. Bukan kumpulan vegetasi dan animalia yang menawan.
Kegugupanku semakin akut, saat kulihat dua poster besar terpajang di lobi kantor yang membuat nyaliku mengkerut. Kalimat-kalimat dalam kedua poster ditulis dalam huruf kapital sebagai berikut:
PEOPLE DO NOT BUY GOODS AND SERVICES.
THEY BUY RELATIONS, STORIES, AND MAGIC
(Seth Godin)
Poster kedua menghidangkan tulisan:
ADVERTISING IS SAYING YOU’RE GOOD, PR IS GETTING SOMEONE ELSE TO SAY YOU’RE GOOD
(Jean-Louis Gassée)
Aku tak tahu siapa Seth Godin dan Jean-Louis Gassée, tapi pastilah mereka tokoh hebat sehingga dikutip ucapannya. Yang jelas kedua pesan itu membuatku seakan mendengar kembali pesan ibu, “Selalu ada saat pertama untuk segala sesuatu”. Wajah ayah juga berkelebat di depanku. “Jangan minder dengan orang yang dua kali lebih pintar. Jika kau belajar dua kali lebih keras minimal kau akan sejajar.” Tentu saja aku tak mau hanya sejajar. Jika targetnya hanya itu, maka ketika aku sampai pada tahap ‘sejajar’ dengan mereka yang pintar, mereka sudah melesat lebih jauh lagi yang membuatku tetap tertinggal. Maka aku harus bekerja tiga-empat kali lebih keras!
Ada satu kalimat Dale Carnegie, motivator tersohor yang begitu mengobarkan semangatku, yakni “Keberhasilan itu terjadi 15 persen karena pengetahuan profesional dan 85 persen karena kemampuan menyampaikan gagasan, menunjukkan kepemimpinan, dan membangkitkan antusiasme orang lain.” Maka strategi yang kulakukan selanjutnya adalah menerapkan pesan itu satu per satu, dimulai dari lebih berani menyampaikan gagasan. Tak peduli apakah itu rapat kecil atau rapat lebih besar yang dihadiri GM atau CEO, aku mewajibkan diriku untuk selalu menyampaikan minimal satu gagasan. Kelihatannya sederhana, namun persiapannya sangat menguras tenaga, karena aku tak mau gagasan yang kusampaikan terdengar asbun di telinga para senior.
Bagi orang lain, mungkin bersosialisasi semudah menjentikkan jari. Tapi bagiku yang sebelumnya terbiasa memperhatikan dan menganalisis perilaku hutan, situasinya tak semudah membalikkan telapak tangan.
Apalagi ketika mulai diajak para senior untuk bertemu klien yang memiliki 1001 kebiasaan, aku mencoba mengidentifikasi mereka secara manual, yang ternyata sangat melelahkan apalagi saat belum tahu caranya.
Untunglah kemudian seniorku menyuruh mempelajari Teori Personality Plus yang mengelompokkan karakter manusia ke dalam empat jenis: sanguinis (penampil), koleris (pemimpin), melankolis (perasa) dan plegmatis (pemerhati).