SAMPAI di apartemen perhatianku langsung tersedot tayangan di semua kanal televisi yang makin gencar memberitakan persiapan pemakaman Diana. Tayangan-tayangan itu juga menunjukkan bahwa ‘demam Diana’ sudah seperti virus global yang menguras air mata dunia.
Dari Bogota sampai Bangladesh, dari Jakarta sampai Marrakesh.
Sebuah liputan membuat mataku tertawan: Rombongan sebuah majelis taklim datang ke Kedutaan Besar Inggris di Jakarta untuk menangisi kematian Diana dan memberikan bunga tanda dukacita. Seorang ibu anggota majelis taklim yang diwawancarai reporter televisi mengatakan mereka sedih memikirkan kedua anak lelaki Diana, William dan Harry, yang masih belia sudah menjadi piatu.
Lalu tayangan berganti, menampilkan suasana di depan Istana Kensington yang sudah menjadi samudera bunga, pemandangan luar biasa yang tak pernah kulihat sebelumnya! Hanya dalam hitungan jam, bunga-bunga itu bertambah secara eksponensial, seperti sel yang membelah diri dan berbiak tanpa henti. Aku mulai tergoda dengan pikiran: “Bagaimana mungkin aku lewatkan peristiwa selangka ini berlalu di depan mata?”
Aku cek lagi jadwal kuliah, semua makalah sudah selesai kukerjakan. Tugas bisa kutitipkan ke Zain untuk diserahkan kepada dosen. Tinggal masalah akomodasi selama di sana, karena aku tak punya bujet untuk menginap di hotel. Ada memang Wisma Indonesia yang harganya lebih terjangkau tapi aku tak yakin apakah mereka masih punya kamar kosong mengingat acara pemakaman hanya tinggal empat hari lagi. Tapi tak ada salahnya kucoba menghubungi pengelola wisma.
Mencari sebentar di internet, aku dapatkan nomor telepon wisma dan langsung kuhubungi. Persis dugaanku, penerima telepon minta maaf karena semua kamar sudah penuh bahkan sampai pekan depan. Kalau begitu tinggal pilihan terakhir: menginap di apartemen Pakde Sam dan Bude Muni.
Pakde Sam—sepupu ibuku karena ayah mereka berdua kakak-adik—adalah diplomat di KBRI London. Ketika beliau akan berangkat menempati posnya sekarang, beliau dan keluarga datang ke rumah orangtuaku untuk minta doa restu. Bukan hanya sekali itu saja. Setiap kali akan menempati pos di luar negeri beliau selalu sowan ke ayah dan ibuku, meski dari usia justru beliau yang lebih tua.
Keluarga kami memang sangat dekat. Sejak aku kecil dan bisa mengingat, keluarga kami begitu sering saling mengunjungi. Ketika aku akan berangkat ke Inggris pun aku sempat menelepon Pakde Sam, yang dengan gembira mengatakan agar aku jangan sungkan untuk menghubunginya dalam kondisi apa pun. Jadi sebetulnya sejak awal aku tak perlu gundah untuk masalah akomodasi. Apalagi sejak kecil aku akrab sekali dengan ketiga anak Pakde Sam, yaitu Toro, Tiara, dan Tobi. Ketiga bersaudara ini berbeda umur tiga tahun.
Dimulai dari mas Toro yang dua tahun lebih tua dariku, Tiara yang setahun di bawahku, dan Tobi yang empat tahun di bawahku. Maklum aku anak tunggal sehingga mas Toro kuanggap sebagai kakak, dan Tobi kuanggap sebagai adik.
Bagaimana dengan Tiara? Inilah masalahnya. Sejak kecil aku sudah terserang virus 'cinta monyet' dengan gejala detak jantung dua kali lebih cepat namun dengan kemampuan bicara dua kali lebih lambat, setiap kali berada di samping Tiara.
Ketika kami sama-sama sudah di bangku SMP, entah kenapa mas Toro selalu menyebut (atau mendorongku?) dan adiknya dengan kata-kata, “Kayaknya kalian cocok deh.” Lucunya setelah itu bukan Tiara yang tersipu, tapi aku yang selalu malu. Setelah masuk SMA lalu kuliah— karena sifat melankolisku yang kuat—aku tak bisa lepas dari bayang-bayang Tiara.
Sisi hatiku yang koleris selalu membisikkan Tiara sebenarnya juga sedang menungguku selama bertahun-tahun ini. Namun sisi hatiku yang melankolis mengingatkan bahaya yang terjadi jika hubungan kami bermasalah atau putus. Dampaknya bisa merusak silaturahmi orangtuaku dan orangtuanya yang sudah sangat baik selama ini. Sebab, siapa yang bisa memastikan hubungan kami bisa selamanya mulus tanpa hambatan, bukan? Apakah aku sudah mampu mengatasi kegamangan ini sekarang? Ternyata tidak juga.
Kendati Mas Toro kini melanjutkan studi doktoral di NUS, Singapura, dan Tobi sedang menyelesaikan kuliah S1 di Teknik Elektro ITB, Tiara justru sedang melanjutkan pascasarjana di SOAS (School of Oriental and African Studies), London. Dia tinggal bersama kedua orangtuanya! Sehingga jika aku menginap di rumah Pakde Sam, pasti aku akan bertemu dengan Tiara, yang sampai sekarang pun menurut info dari ibuku, juga masih belum punya pacar! Membayangkan itu saja sudah membuat debar cinta yang terkenal itu mendatangiku. Lari tak bisa, tak lari tak bisa.
Jadi daripada aku hubungi Pakde Sam dan Bude Muni sekarang—sudah pasti mereka akan menerimaku dengan senang hati—tapi kemudian mereka akan memberitahukan Tiara, lebih baik aku kontak Pakde pada saat-saat terakhir saja. Semoga kehadiranku yang mendadak justru akan menjadi kejutan menyenangkan bagi mereka.
Sayap-sayap malam di langit Leeds mengembang meski tak terlalu kelam. Angin musim gugur gagal membuat semangatku luntur. Kuputuskan mengunjungi Zain sambil membawa empat makalah yang sudah kukerjakan. Tidak sampai setengah jam, aku sudah berada di kamar anak Malaysia ini. Televisinya mati.
Dia sedang mengaji, masih mengenakan sarung dan di kepalanya bertengger kopiah putih. Setelah sedikit basa- basi karena aku mengganggu kesibukannya beribadah, kusampaikan niat utama kedatanganku.
“Zain, aku minta tolong agar paper-paper ini dikumpulkan sesuai dengan tugas mata kuliah, bolehkah?”
“Masya Allah, hebat nian kau Johan, semua sudah selesai. Aku baru mau kerjakan malam ini dan besok. Memang tidak salah kau selalu mendapatkan nilai tertinggi karena semangatmu yang berapi-api.”
“Semua karena Allah yang memudahkan,” kataku sambil mengacungkan telunjuk ke atas. Berbicara dengan Zain yang agamis, membuatku juga harus lebih sering mengucapkan kata-kata senada.
“Oke, nanti aku serahkan semua paper-mu. Tak masalah,” Pandangan matanya kembali terpaku di halaman Al Qur’an. “Memangnya kau ada urusan apa sampai harus absen kuliah?”
“Aku, eh, mau mengunjungi paman yang tinggal di London, karena, eh, ada sedikit urusan keluarga. Aku di sana sampai akhir pekan dan, eh, juga sambil sekalian menyaksikan pemakaman Lady Diana,” ujarku kesulitan menyampaikan kata-kata karena harus terdengar logis.
“Astaghfirullah!” Zain terkejut sampai meletakkan kitab suci dari tangannya. “Kamu mau ikut menyaksikan funeral itu?”
Kini giliranku yang kaget dan heran melihat reaksinya. “Memangnya kenapa?”
“No way! Don’t do that, Brother. Dia pezina. Dodi itu bukan suaminya, tapi tengok apa yang muncul pada kabar dan foto-foto media massa: mereka sudah seperti suami istri! Seperti sudah halal satu sama lain, padahal belum! Apakah kau akan ikut berdukacita dan berkabung terhadap orang-orang seperti Diana dan perusak agama seperti Dodi? Jangan, Saudaraku. Tak ada faedahnya bagimu melihat pemakaman itu selain menambah dosa.”
“Maaf Zain, dosa apa yang aku lakukan jika melihat pemakaman seseorang? Anggaplah yang kau katakan tentang Diana dan Dodi itu benar. Bukankah dosa itu ditanggung oleh masing-masing pelakunya? Bukan oleh kita yang sama sekali tidak melakukannya?”
“Dosamu, brother, adalah kau di negara ini sedang belajar karena menerima beasiswa. Entah dibayarkan oleh negaramu atau perusahaanmu, dan kau memilih absen kuliah begitu saja. Sebenarnya kau melakukan dua korupsi sekaligus, korupsi waktu dan korupsi dana. Kalau kau di sini bukan karena biaya mereka, tapi dengan uangmu sendiri, hal itu masih masuk akal karena tak ada yang kau rugikan.”
“Artinya kau tidak mau membantuku, Zain?”
“Kau tetap tidak merasa melakukan kesalahan dengan meninggalkan kuliah tanpa ada uzur syar’i, Saudaraku?”
“Apa itu uzur syar’i?”
“Halangan yang menyebabkan kau tidak bisa melakukan sesuatu, dengan penyebab hal-hal yang tidak melanggar syariat. Misalkan kau absen kuliah karena sakit. Itu uzur syar’i. Atau kau absen karena harus ke London mengunjungi pamanmu yang sakit parah dan sangat kritis, sehingga jika kau tunda kedatangan barangkali tak akan pernah bertemu lagi dengannya dalam keadaan hidup. Itu juga uzur syar’i,” paparnya dengan kelembutan.
“Sayangnya apa yang akan kau lakukan ini sama sekali bukan uzur syar’i, Brother. Sekarang aku malah berpikir bahwa tujuan utamamu ke London yang sebenarnya adalah karena ingin menyaksikan funeral itu—mungkin terpengaruh pembicaraan kawan-kawan kita tadi sore— baru kau mencari hujjah dengan melibatkan pamanmu. Apakah begitu?” Zain melihat isi kepalaku semudah anak kecil melihat akuarium. Tapi aku tak mau mengalah, dan tak bisa kalah.
“Bagaimana aku melakukan korupsi? Bukankah aku tetap mengerjakan tugas kampus? Jadi tak ada yang kurugikan.”
“Aku tak mau berdebat denganmu, sejuta maaf, Johan. Aku bersikap tegas, yang mungkin tak kau sukai saat ini, justru karena aku menganggapmu sebagai sahabat,” katanya sambil menepuk pundakku.
“Baiklah Zain, terima kasih atas pendapatmu,” ujarku sambil merapikan lagi semua paper dan memasukkan ke dalam ransel. “Aku pamit dulu,” lanjutku sambil berharap dia memanggilku lagi dan mengubah keputusannya.
Namun yang dikatakan Zain adalah, “Oke. Hati-hati di jalan, Saudaraku.”
Saudaraku? Saudara macam apa yang tak mau membantu urusan semudah ini! Kutelan kata-kata yang hampir meluncur dari mulut, dan dengan menyembunyikan kekesalan serapi mungkin, aku keluar dari tempat Zain.
Di halte bus Beckett Street aku duduk dan berpikir siapa yang bisa kumintai tolong. Dengan menyisihkan kawan-kawanku yang sudah punya rencana berangkat, aku hubungi nama yang tersisa secara acak. Setelah enam nama yang kuhubungi menolak dengan berbagai alasan, keberuntungan masih berpihak kepadaku karena Fatima, mahasiswi asal Maroko, bersedia menerima titipan makalahku.
“Yes!” Aku bersorak gembira, dan mengabaikan pandangan orang lain di sekitarku. Seluruh masalah terpecahkan malam ini, tinggal menunggu bis yang akan membawaku ke apartemen Fatima. Besok aku ke London! Tidak hanya menjejakkan kaki di bandara, kali ini punya kesempatan untuk menjelajahi berbagai sudut kota.
***
SATU jam kemudian aku sudah kembali di flat sederhana yang kutempati selama di Leeds. Ada telpon masuk dari Ayah, mengatakan seorang wartawan majalah berita ingin meneleponku.
“Kelihatannya soal pemakaman Lady Diana,” ujar Ayah. “Apakah kamu bersedia? Karena Ayah belum memberikan nomormu.”
“Boleh, Ayah,” jawabku.
Tak sampai 10 menit kemudian teleponku berdering.
Kulihat nomor depannya +62 21. Suara seorang lelaki terdengar di seberang.
“Bisa bicara dengan Johansyah Ibrahim?”
“Ya, saya sendiri. Maaf dengan siapa?”
“Aldebaran. Tapi panggil saja saya Al.”
“Oh oke, Pak Al?”
“Panggil Al saja. Umur saya belum 30 tahun, mungkin tidak beda jauh dengan kamu.”
“Siap, Bang Al! Ada yang bisa saya bantu?”
“Tentu, makanya saya telpon Jo. Saya mendapat tugas meliput pemakaman Lady Diana. Saya berangkat Kamis malam dan sampai di London Jumat pagi, artinya hanya sehari sebelum pemakaman. Mepet sekali sebenarnya.”
“Bang Al sudah dapat hotel? Saya dapat info dari Wisma Indonesia bawa seluruh hotel di London sudah fully booked.”
“Sudah. Memang travel biro yang biasa mengurusi kebutuhan jurnalis kantor mengatakan hanya bisa mencarikan tiket pesawat saja, tidak menjanjikan bisa mendapatkan hotel. Jadi saya cari sendiri hotel kecil, dan reservasi via internet. Ada satu di dekat Hyde Park namanya Piccolino.”
“Baik, Bang.”
“Sebelumnya saya ingin tahu apakah Johan ada rencana ke London? Saya dengar Johan sedang studi di Leeds.”
“Betul, tapi rencananya saya besok ke London juga.”
“Alhamdulillah. Saya mau minta tolong, besok setelah Johan sampai di London tolong belikan saya beberapa koran dan tabloid yang mewartakan soal ini. Boleh tentang kejadian kecelakaan, teori konspirasi, atau apa pun, sepanjang menyangkut Diana-Dodi.”
“Koran dan tabloid apa, Bang?”
“Apa saja. Tapi jangan diborong semua yang ada di news stand.” Terdengar tawa kecil dari seberang yang membuatku ikut tertawa. Lalu suaranya terdengar lagi, “Kamu seleksi saja sendiri mana yang harus dibeli. Baca sekilas. Kalau infonya menarik, beli. Kalau kurang menarik, tidak usah. Saya percaya keputusanmu.”
“Baik, Bang. Saya mengerti.”