Dilarang Bercanda dengan Kenangan

Republika Penerbit
Chapter #4

Halo, Mas Jo!

“ADA ribuan orang di sekeliling kita, kenapa aku yang kau pilih, Aida?”

“Maaf, bukan maksudku membedakanmu secara rasial. Tapi kamu memiliki tiga faktor yang kubutuhkan sebagai narasumber.”

“Apa saja?”

“Pertama kamu lelaki,” ujarnya sambil memandang jari tanganku. “Belum menikah, dan berumur jauh lebih muda dari Diana. Betul?”

“Ya, umurku 23 tahun dan aku memang single.”

“Kedua, kamu sedang kuliah di Leeds yang cukup jauh dari sini, tapi memutuskan datang ke London. Itu menunjukkan skala prioritas yang kau ambil.”

“Oke. Dan faktor ketiga?”

“Kamu berasal Indonesia. Aku baru ingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, atau, apakah itu Pakistan? Aku lupa ...”

“Ingatanmu bagus. Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia, Pakistan yang kedua. Tapi apa maksudmu dengan tiga faktor itu?”

“Poinku adalah bahwa seorang pria muslim dari negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia yang sedang sibuk belajar pun meluangkan waktu untuk menyaksikan pemakaman seorang perempuan non-muslim yang kehidupan pribadi dan kisah cintanya sangat kontroversial.”

“Itu karena kesedihan bersifat universal, tak mengenal sekat-sekat agama. Bukan karena masalah agama, Aida.”

“Persis. Itulah angle liputanku. Bagaimana? Mau kuwawancara?”

Aku mencoba membaca bahasa tubuhnya. Aida perempuan yang cerdas, memiliki kepercayaan diri tinggi, dan berpenampilan menarik secara alami. Jika ketiga faktor itu bersekutu pada diri seorang perempuan, itu menjadi magnet yang lebih kuat bagiku dibandingkan pesona sebuah perpustakaan.

“Bukannya aku tak mau, Aida. Aku yakin The Jordan Times adalah koran berpengaruh dan banyak pembaca. Aku hanya tak yakin apakah mewawancaraiku merupakan hal yang tepat.”

“Aku yakin ini hal yang tepat. Sebentar aku habiskan dulu makananku.”

“Silakan.” Aida mengangkat piring kue dari meja sehingga lebih dekat dengan mulutnya, dan menghabiskannya. Dia melakukannya dengan cepat namun tak terburu- buru. Gerakan tangannya seperti menari.

“Maaf jadi membuatmu menunggu,” ujar Aida setelah meneguk lagi kopinya. “Apakah sebaiknya kita wawancara di sini atau di tempat terbuka seperti di Kensington Square Garden di depan sana?” katanya sambil menunjuk keluar.

“Terserah kamu saja, sepanjang bisa membuat gugupku hilang.”

Aida tertawa kecil. “Kamu humoris juga. Kecuali kau mau di sini, bagaimana jika kita keluar untuk menghirup udara segar dan melihat langit London sore hari?”

“Pikiran kita sama,” ujarku sembari memasukkan koran ke dalam ransel. “Cuma aku lebih senang kamu yang mengusulkannya. Tempat ini juga terlalu penuh.”

***

KENSINGTON Square Garden terletak tak jauh dari Montparnasse Cafe. Taman ini bukan Kensington Garden yang luas dan menyatu dengan Kensington Palace yang menjadi kediaman Diana Spencer. Kensinton Square yang luasnya hanya sekitar sepertiga hektar adalah semacam komplek perumahan dengan taman hijau yang hanya bisa diakses para penghuni, bukan untuk umum.

Cuaca musim gugur di awal September yang sejuk membuat suasana nyaman dengan embusan angin yang memijat lembut pori-pori tubuh. Aida mengeluarkan sebungkus rokok putih dari ransel kecilnya. Dia menyodorkan kepadaku. “Kita merokok dulu? Aftertaste dari kopi tadi masih terlalu keras di lidahku. Harus dilembutkan sebelum wawancara.”

Kuperhatikan bungkus rokok dengan gambar yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Carpați,” ujarku membaca tulisan di atas gambar gunung putih yang diapit jajaran pohon cemara di kedua sisi. Komposisi yang mengingatkanku pada kebiasaan anak-anak SD di Indonesia—termasuk aku—dalam pelajaran meng– gambar. Subyek favorit pastilah gambar gunung yang diapit oleh jajaran tiang listrik.

Aida membenarkan cara pengucapanku dalam dialek Rumania. “Ini dari nama gunung Carpathian yang terbentang dari Eropa Tengah sampai Eropa Timur,” paparnya.

Aida mengambil sebatang rokok dan menyalakan untuk dirinya sendiri, lalu lidah api yang masih menyala didekatkannya kepadaku. “Kamu ambil saja, biar tahu rasa rokok Rumania.”

“Terima kasih, aku tidak merokok.”

Ups sorry!” katanya sambil mematikan pemantik. “Karena alasan kesehatan? Rokok bisa membunuhmu?”

“Tidak terbiasa saja. Ayahku juga tidak merokok.”

“Tapi kamu tidak keberatan kalau aku merokok sebentar?”

“Silakan,” ujarku sambil kembali memperhatikan bungkus Carpați. “Aku baru tahu merek ini. Mungkin karena aku bukan perokok ya?”

“Tidak juga. Rokok ini memang hanya beredar di Rumania. Sebelum revolusi yang menumbangkan Presiden Nicolae Ceaușescu pada 1989, rokok ini mudah ditemukan di negara-negara Barat. Tapi setelah revolusi, entah mengapa hanya beredar di dalam negeri karena pangsa pasarnya menurun drastis. Aku kurang cocok dengan rokok putih lain meski merek terkenal sekalipun.”

“Kamu pasti ahli sekali soal rasa sehingga bisa membedakan rokok ini dengan rokok putih lain, Aida.”

“Bukan soal rasa. Kalau aku membeli Marlboro atau Lucky Strike berarti aku hanya memperkaya perusahaan superkaya yang pekerjanya bukan bangsaku. Tetapi kalau aku membeli satu selop Carpați, berarti aku membeli produk bangsaku, ikut membantu para pekerja, dan secara tidak langsung berkontribusi pada pendapatan cukai negara.”

Aku tercengang, terperangkap antara kagum dan heran. “Aku tak menyangka kau berpikir sejauh itu untuk sebungkus rokok.”

“Aku pernah mengikuti pertukaran mahasiswa selama satu semester di University of London beberapa tahun lalu.” Aida menatapku sambil kami kembali melangkah perlahan. “Salah satu yang kupelajari dari keunggulan bangsa ini adalah kebanggaan menggunakan produk buatan mereka sendiri. Semangat itu yang kuserap dan praktikkan sepulang dari London. Jika ada produk Rumania yang bisa dipakai, mengapa aku harus mengonsumsi produk bangsa lain? Menurutku inilah penerapan nasionalisme dari sudut pandang seorang konsumen.”

“Sebentar. Bukankah patriotisme adalah ketika rasa cinta terhadap bangsa sendiri muncul pertama kali, sedangkan nasionalisme adalah ketika rasa benci terhadap bangsa lain muncul pertama kali?”

Aida menghentikan langkahnya dan menatapku. “Siapa yang mengatakan itu?”

“Charles de Gaulle kalau aku tidak keliru.”

“Aha! Kau belajar ilmu politik?” katanya sambil kembali melangkah.

“Tidak. Public relations.”

Well, kau berhasil membuatku berpikir ulang tentang nasionalisme. Mungkin de Gaulle benar bahwa yang kumaksud adalah patriotisme karena aku tidak benci bangsa lain, apalagi hanya gara-gara sebungkus rokok.” Suara soprannya mengalun merdu di antara embusan angin musim gugur yang merayu.

“Aku tidak terlalu yakin apakah sekarang ini istilah- istilah seperti ‘patriotisme’ atau ‘nasionalisme’ masih mengundang selera generasi muda, Aida, karena yang jauh lebih penting adalah action.”

“Maksudmu?”

“Yang kumaksudkan ‘action’ adalah seperti yang kau lakukan. Beli produk bangsamu sendiri. Tak perlu terperangkap dalam jebakan konsep apakah sikap itu termasuk ‘patriotis’ atau ‘nasionalis’.”

“Betul sekali,” katanya sambil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan pintu hitam dan angka 18 dari kuningan yang terletak di bagian atas. Aida mengarahkan telunjuknya. “Rumah itu pernah dihuni John Stuart Mill, salah seorang filsuf Inggris terbesar sepanjang sejarah. Ada satu perkataannya yang sangat berkesan buatku.

Dia bilang, ‘Saya telah belajar bahwa cara mendapatkan kebahagiaan adalah dengan membatasi keinginan, bukan dengan berusaha melampiaskannya.’ Bagaimana menurutmu pandangan itu, Jo?”

“Pendapat yang keren. Aku setuju.”

Lihat selengkapnya