JAM 20.20 makan malam kami selesai. Sambil kembali memakai autumn coat dan syal yang dililitkan dengan longgar di leher, Aida mengguyurku dengan tatapan hangat yang terasa lezat oleh hatiku. “Bantuanmu hari ini tak ‘kan kulupakan. Terima kasih, Jo.”
“Aku yang lebih berterima kasih karena mendapat banyak ilmu yang mengenyangkan otak dan makanan yang menenteramkan perut.”
Aida memanggil seorang pelayan agar mendekat. “Tolong bantu potret kami.” Pelayan itu meraih kamera yang diberikan Aida dan menjawab dengan logat kental seperti di film Bollywood minus goyangan kepala.
“Tinggal klik tombol ini saja?”
“Ya. Itu auto-focus.”
“OK,” sahut pelayan itu sambil mengatur pose kami.
“1, 2, 3 ...” Pelayan mengembalikan kamera kepada Aida yang mengganjarnya dengan tip.
“Terima kasih,” katanya.
Kami beranjak keluar restoran.
Langit London bersemayam dalam kelam malam.
Tiupan angin lebih bersemangat dibandingkan waktu siang, membuat dedaunan tua melolong karena harus terpisah dari reranting yang selama ini mendekapnya. Terputus, menjauh, luruh.
“The night is still young. Rasanya aku lelah sekali, tapi masih harus menulis laporan-laporan wawancara untuk dikirim malam ini. Aku harus balik ke hotel, mandi air hangat, dan istirahat sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan. Padahal aku ingin juga melihat kondisi Kensington Palace di malam hari. Apa boleh buat. Kalau aku tidak balik ke hotel dan mengerjakan laporan, pasti tidak akan selesai malam ini.”
“Kamu tulis saja semua laporan sekarang. Besok malam kalau kamu mau bisa aku temani jalan-jalan di sini.”
“Janji?” ucapnya semangat dalam suara soprannya.
“Aku janji, Your Majesty!”
“Jangan memanggilku dengan sebutan itu terus. Lama-lama aku merasa lebih berhak atas singgasana Istana Buckingham dibanding Ratu Elizabeth.” Ia tergelak. “O ya, kamu menginap di mana?”
“Aku belum tahu,” jawabku mengusap kedua telapak tangan karena udara yang makin dingin.
“What?” Aida menatapku seperti melihat makhluk luar angkasa. “Apa maksudmu belum tahu? Semua hotel dan apartemen di London saat ini penuh sesak. Jangan bilang kau belum reservasi, Jo?”
“Aku sudah coba reservasi, tapi well, tidak dapat.” Yang kumaksud bukan hotel dalam pengertian Aida, tapi Wisma Indonesia. Namun dia tak perlu tahu serinci itu.
“Oh my goodness! Bagaimana bisa kau datang ke kota ini tanpa kepastian akomodasi? Di waktu lain mungkin bisa, tapi ini di pemakaman Putri Diana yang membuat jutaan orang datang ke sini! Bagaimana ceritanya?” Rasa terkejut pada suara Aida semakin besar.
Maka aku pun menceritakan ulang secara singkat usahaku untuk mendapatkan kamar di Wisma Indonesia dan di apartemen Pakde Sam.
Aida terdiam dengan kening berkerut. Raut wajahnya sangat serius. “Jo, Aku harap kau tidak keliru menilaiku jika aku mengajakmu menginap di hotelku di Harrods Room, Knightsbridge, tak jauh dari sini. Bukan hotel besar, yang penting kamu bisa istirahat beberapa jam sebelum pagi, mandi menyegarkan badan, dan sarapan.”
“Kamu begitu penuh perhatian. Tetapi aku tak bisa menerima kebaikanmu lagi, Aida.”
“Kenapa?”
“Hanya merasa tidak pantas saja.”
“Tidak pantas?” Aida menghentikan langkah dan memandangku tajam.
“O, I see. Kamu sudah punya tunangan di Indonesia?”
“Tidak.”
“Atau punya pacar di Leeds?”
“Tidak juga. Aku sudah bilang bahwa aku single.”
“Jadi apa yang membuatmu merasa tidak pantas?”
“Aku tak mau memberatkanmu.”
“Bagaimana jika aku tak keberatan sama sekali? Aku hanya butuh waktu sebentar untuk menulis laporan, setelah itu kita bisa melanjutkan obrolan sampai pagi. Banyak hal yang bisa kita lakukan kalau mau, termasuk menghitung jumlah embun yang turun di jendela.”
Jelas sekali Aida bukan jenis perempuan yang pantang menyerah jika sudah punya keinginan.
“Aku belum pernah menghitung jumlah embun yang turun. Kamu tahu caranya?” Aku berusaha mencairkan suasana.
“Kalau memang bisa, aku mau belajar.” Dia tersenyum. “Jika artinya kamu bersedia, maka aku akan menjawab ‘ya’. Aku tahu cara menghitung embun, Jo.”
“Baiklah, aku bersedia. Keinginanmu tak bisa ditolak ya?”
***
KAMI melewati Harrods Department Store milik Mohamad al Fayed, ayah Dodi. Angin kini bak pembunuh bayaran yang terampil melempar pisau, mengiris daun telinga, membuat perih yang nyata. Apalagi bagiku yang baru merasakan musim gugur di negara dengan salah satu iklim kurang bersahabat di dunia.
Tetes gerimis kembali menyapa seolah kawan lama.
“Kita jalan lebih cepat, hotelku sudah dekat,” ujar Aida separuh melesat. Aku mengimbangi langkahnya yang cepat. Akhirnya kami sampai di depan hotel Harrods Room. Saat melewati pintu, terdengar desing ribuan panah hujan yang bergairah menancapi jalan di belakang kami.
“Satu menit saja terlambat, kita basah kuyup,” ujarku.
“Kasihan mereka yang masih di depan Kensington Palace.” Aida bergumam trenyuh. “Semoga tidak ada yang sakit, terutama anak-anak dan orangtua.”
Aku terhenyak dan merasa egois. Jadi perhatian Aida kepadaku benar-benar setulus perhatiannya terhadap orang-orang yang tak dikenalnya di depan Istana Kensington. Kepeduliannya terhadap sesama manusia murni berasal dari hati. Dia tak menginginkan siapa pun mendapatkan masalah di tengah cuaca London yang kerap berubah mendadak.
Kami menunggu lift dan naik ke lantai 3. Dari jendela kamar terdengar pekik hujan yang menampar-nampar.
“Kasihan sekali mereka yang kehujanan di luar sana.” Pikiran Aida masih belum beralih. “Mudah-mudahan mereka membawa payung atau jas hujan. Bagaimana kalau tidak?” Aida melepaskan syal yang melilit leher pualamnya, membuka autumn coat dan menggantungkan di lemari, lalu membuka sepatu boots yang membungkus betisnya.
“Kaki kiriku kebas, mau aku siram air panas.”
“Mungkin hanya kesemutan biasa. Boleh kunyalakan teve?”