Dilarang Bercanda dengan Kenangan

Republika Penerbit
Chapter #6

Harrods Room

Kamis, 4 September 2017

TERCIUM aroma kopi yang keras berkeliaran di rongga hidungku, membuatku terjaga. Televisi sudah mati. Kulihat tubuhku masih di sofa namun terbungkus selimut. Aku yakin sekali tak memakai selimut saat semalam.

Ya ampun! Jam berapa sekarang? Aku melihat ke belakang. Hanya ada laptop yang terbuka tanpa Aida. Kudengar suara air dari kamar mandi. Arloji menunjukkan waktu pukul 6.40. Di meja tersaji secangkir kopi panas mengepulkan uap, aku turun dari sofa, melihat keluar jendela. Langit pagi yang mendung menghias cakrawala London. Jalan di depan hotel mulai sibuk.

Aku regangkan badan untuk sedikit pemanasan, melenturkan dan mengencangkan otot-otot dalam berbagai posisi, ditutup dengan sit up 50 kali. Hitunganku baru sampai 38 ketika Aida keluar dari kamar mandi.

“Oops, ada yang sedang olahraga. Cool!”

Kuselesaikan hitungan sampai ke-50 sebelum berdiri. Aida mengenakan kaos ungu dan celana ¾ hijau lumut, kontras dengan kulitnya yang cerah.

“Maaf, aku ketiduran semalam,” ujarku.

“Tidak apa-apa, pasti kebiasaanmu di Leeds tidur lebih cepat lagi ‘kan?” Aida duduk di sofa di sampingku. Wangi samar tubuhnya kini mengepungku. “Aku sudah mengirimkan laporan ke kantor semalam. Thanks to you. Oh ya, ini kubuatkan kopi untukmu.” Aida tersenyum kecil. “Kamu sudah salat Subuh?”

“Oh iya, belum.” Aku beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu, dan mengganti kaos yang sudah berkeringat usai olahraga singkat.

***

USAI salat Subuh yang terlambat, kulihat Aida sudah mengalungkan kamera di lehernya. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. “Kita sarapan yuk? Mudah-mudahan belum terlalu ramai.”

“Aku belum mandi.”

“Tidak apa-apa. You look good.”

“Kamu yang cemerlang keemasan seperti mentari pagi di pegunungan Carpathian.”

“Kamu pandai sekali merangkai kata-kata yang relevan dengan negeriku,” katanya ketika kami keluar dari kamar menuju lokasi sarapan. “Apakah semua lelaki Indonesia begitu?”

“Tidak, hanya aku saja. Itu pun setelah bertemu denganmu.”

“Hahaha ... aku baru sadari setelah browsing melihat penampilan pria Indonesia, rasanya kau lebih tinggi dari rata-rata mereka ya? Berapa tinggimu?”

“182 cm.”

“Aku 168 cm.”

“Kamu juga cukup tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia.”

“Aku rasa juga begitu setelah melihat foto-foto mereka.”

“Sebenarnya untuk ukuran pria Indonesia sekarang, tinggiku termasuk rata-rata. Banyak yang lebih jangkung bahkan sampai 190-an cm. Mungkin foto-foto pria Indonesia yang kau lihat itu adalah orang-orang yang 10-20 tahun lebih tua dari umurku. Tricky question: kamu suka lelaki yang tinggi atau pendek, Aida?”

“Aku suka lelaki yang baik hati, cerdas, dan penuh perhatian, meski untuk hal-hal kecil seperti membuatkan kopi.” Matanya mengerling penuh sinar kemenangan. “Little things mean a lot to me. Always.”

***

RUANG makan di Harrods Room sudah terisi separuhnya. Aida mengambil jus mangga, buah potong dan salad sebagai menu pertama. Aku langsung mengambil corn flake yang kuguyur susu segar. “Ke mana rencana liputanmu hari ini?”

“Aku mau meliput di sekitar Istana Buckingham dan Hyde Park. Sebetulnya kalau bisa juga mewawancarai Charles Spencer, adik kandung Diana, yang kini menjadi pewaris klan Spencer. Tapi surat permintaan wawancaraku belum dijawab. Aku juga menunggu jawaban dari Mohamad al Fayed. Satu lagi permintaan wawancara untuk Duta Besar Yordania di sini. Intinya, jadwalku masih tergantung siapa yang menjawab lebih dulu, itulah yang aku kejar. Sore hari baru meliput lagi di Kensington. Malam hari menulis semua liputan hari ini.”

“Jadwal yang padat. Di bagian mana aku bisa membantu?”

“Di mana saja yang kau mau, asal jangan mengganggu jadwalmu sendiri.”

“Hari ini aku agak longgar, baru malam hari aku bertemu dengan teman-teman dari Leeds. Besok pagi bertemu wartawan Indonesia dari Jakarta yang datang untuk meliput pemakaman. Aku belum tahu apakah akan terus seharian dengan dia atau tidak, karena belum kami bahas teknisnya.”

“Berarti kamu baru betul-betul sibuk besok?”

“Kurang lebih begitu. Pagi ini aku ingin melihat Istana Buckingham. Belum pernah ke sana.”

“Hooray! Berarti aku punya teman diskusi di pagi hari. Lalu setelah itu?”

“Dari Buckingham aku akan coba lagi hunting hotel.”

Aida meletakkan garpu salad yang sedang dipegangnya. “Hunting hotel? Untuk apa?”

“Untuk menginap sampai hari Minggu.”

Nada suara Aida langsung terdengar dingin mencecar seperti jaksa di persidangan. “Kau tak suka hotel ini? Kau tak suka berada di dekatku?”

“Jangan salah paham Aida. Aku senang di dekatmu, tapi aku tak bisa terus-menerus menjadi tanggunganmu. Makan malam, penginapan, sekarang sarapan.”

Aida memegang tanganku yang sedang mengaduk corn flake. “Jo, aku tidak merendahkan keuanganmu. Jadi tolong, tolong, tolong, jangan tersinggung jika aku katakan ini. Okay?”

“Okay.”

“Anggaplah kau masih berpeluang mendapatkan kamar hotel sekarang—yang kita tahu sudah tidak mungkin—lantas apakah biaya penginapan ditanggung kantormu?”

“Tidak. Biaya yang ditanggung kantor hanya program-program penunjang dan ekskursi yang sudah disetujui manajemen sejak di Jakarta.”

See? Sudah kuduga kau akan menjawab seperti itu. Jo, aku pernah kuliah di sini, merasakan kehidupan kampus, merasakan kehidupan seharian di Inggris. Ini kota dengan biaya hidup yang mahal. Mata uang mereka poundsterling salah satu yang terkuat di dunia.”

“Apa poinmu?”

“Poinku adalah hemat biaya penginapanmu selama tiga malam berikutnya. Aku sama sekali tak keberatan kamu di sini. I do. Kau sudah lihat kamarku, tidak besar tapi mencukupi. Queen size bed yang bisa kita sharing, dan dua voucher sarapan setiap pagi. Jika kau tak di sini, voucher sarapan setiap pagi hangus satu dan aku tak punya teman diskusi lagi. Sebentar aku mau ambil sosis dulu.” Aida berdiri dan berjalan menuju meja banquet.

Pendapat Aida ada benarnya. Dari sisi penghematan, yang terbaik bisa kulakukan adalah seperti yang dikatakannya. Tetapi cara pandang ekonomi bukan satu-satunya pilihan. Apalagi dari kepantasan etika.

Bagaimana mungkin dua orang asing yang baru bertemu lantas salah satu dari mereka menanggung biaya lebih banyak dari yang lain? Aida kembali membawa dua piring. Satu berisi beberapa sosis ayam, sapi, dan irisan daging tipis.

Piring kedua berisi potato wedges dengan saus tomat dan mustard yang tersaji rapi. “Aku bawakan sekalian agak banyak. Kita share ya?”

“Seharusnya aku yang membawakanmu makanan, Aida.”

“Tidak apa-apa. Daripada bolak-balik,” katanya sambil menunjuk ruangan yang semakin ramai. “Sampai mana kita tadi?”

“Kamu mengharapkan aku tetap di sini sampai hari Minggu.”

“Ah ya, benar.”

“Apakah kamu tidak khawatir atau takut berada dalam satu ruangan dengan orang asing yang belum kau ketahui latar belakangnya?”

“Kamu bukan psikopat atau sosiopat, ‘kan?” Aida menusukkan garpu ke sosis ayam dan mencelupkannya ke saus mustard.

“Bagaimana kalau iya?” Aku mengambil kentang dan mencocol ke saus tomat.

“Bagaimana mungkin seorang psikopat-sosiopat bisa tenang saja ketika seorang perempuan cantik dan sexy tertidur pulas di dekatnya?”

“Wohoo!” Aku menatapnya takjub. “Kau menyebut dirimu cantik dan sexy?”

“Menurutku sih tidak,” Aida mengerlingkan matanya. “Tapi banyak lelaki yang berkata begitu. Aku dengar sendiri. Apa boleh buat. Aku terima saja karena tidak ada gunanya berdebat soal itu.” Bola matanya mendelik lucu. “Kamu tidak setuju dengan pendapat orang lain yang mengatakan aku cantik dan sexy? Tidak apa-apa. Bagaimana pendapatmu sendiri?”

Lihat selengkapnya