Belantara metropolitan sudah gelap. Sebagian besar warganya sedang menerapkan aneka siasat agar perjalanan mereka pulang ke rumah tidak terasa terlalu berat. Kendaraan bagai saling adu banteng dan bising klakson sering kali mewakili kepenatan batin yang sebenarnya sangat ingin menggonggong. Riuh sekali di luar sana. Untungnya tidak seperti itu di sini, di kamarku.
Aku berbaring di kasurku, membolak-balikkan badan, mencoba berbagai gaya. Sebenarnya badanku mulai pegal dan terasa gerah, tapi masih ingin lanjut. Aku masih asyik bertelepon dengan pacar baruku, Wildan, saat alarm di mejaku berbunyi. Itu artinya aku sudah harus mandi dan siap-siap berangkat kerja. Hiks, syedih. Aku masih ingin terus mengobrol dengan pacarku, kami sedang kasmaran :)
Tapi di sisi lain aku juga sangat menyukai pekerjaanku. Jadi, aku tidak terlalu berberat hati kalau harus pisah dulu dari pacarku untuk bermesraan dengan pekerjaanku.
Sehabis mandi, aku langsung ganti baju. Untungnya di kantorku tidak ada baju seragam, jadi aku bisa lebih bebas mengekspresikan diri lewat gaya pakaianku yang cenderung simpel; kaos dengan gambar atau tulisan yang menarik, plus rok jenis A-Line sebawah lutut, dan sneakers. Tas yang aku pakai juga yang modelnya simpel. Kalau tidak Boho Bag, ya Tote Bag.
Saat sedang memoles lipstik, ibu membuka pintu kamarku tanpa lebih dulu mengetuk pintu, DAN langsung masuk tanpa menunggu dipersilakan.
MEMANG BEGITU. DI RUMAHKU, PRIVASI MEMANG MIRIP ILUSI.
Sebelum berkata-kata, untuk beberapa saat, ibu berdiri memandangiku dengan wajah yang sudah sangat kuhafal; wajah cemas.
“Kan ada kerjaan yang lebih baik daripada nemanin orang kayak gitu.”
“Ibu kok ngomongnya kayak aku nih pelacur yang nemanin om-om sih? Kerjaanku ini halal, Bu. Sama sekali nggak ngelanggar hukum, nggak pakai kemungkinan kena penyakit kelamin, nggak mencoreng nama keluarga juga!”
Ibu hanya bicara satu kalimat. Tapi aku merasa perlu merespons dengan panjang lebar dan diperkuat dengan intonasi tinggi. Kenapa? Karena ini sudah keseribukalinya ibu mempersoalkan pilihan pekerjaanku. Susah sekali meyakinkannya bahwa aku tahu mana yang baik dan yang buruk, dan bahwa aku akan aman serta bahagia dengan pilihanku sendiri. Lagi pula ini sudah 2016, kenapa sih pikiran ibu masih kolot saja!
Walau kesal, tapi aku sadar aku tidak bisa menyalahkan ibu. Generation Gap. Sepertinya itulah biang keladinya. Rupanya jarak usia kami yang terpaut 37 tahun membawa dampak besar terhadap cara kami menilai sesuatu. Tapi, jangankan dengan ibuku, dengan Mbak Lintang, kakakku satu-satunya pun usia kami beda 12 tahun. Jadi, tidak heran walau nama asliku Rumi, tapi ibu selalu memanggilku si Kecil.
“Kenalkan, ini si kecil saya.” Begitulah cara ibu memperkenalkan aku ke tetangga baru kami atau ke siapa pun lawan bicaranya. Bahkan kalau ada temanku yang datang ke rumah, ibu pasti tanya, “Teman kerjanya si Kecil, ya? Atau teman kuliah? Atau teman di mana?”
Dan itulah awal mulanya semua orang akhirnya memanggilku si Kecil.
Umurku sudah 25 tahun, tapi tetap dipandang seperti anak 15 tahun yang belum bisa bertanggung jawab atas diri sendiri. Ibu bahkan melarangku untuk mengekos walau ibu tahu kantorku lumayan jauh. Mungkin itu strateginya; mungkin ibu berharap jarak kantor yang jauh akan membuatku lelah dan akhirnya menyerah, lalu memilih pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan standarnya. Bagi ibu, kerja seharusnya dari pagi sampai sore dan kalau berseragam berarti lebih bagus karena jadi jelas identitasnya. Padahal aku sudah sangat muak diseragamkan sejak TK hingga SMA.
Begitu selesai bersolek, aku mencium pipi ibu, lalu berangkat kerja tanpa bicara sepatah kata lagi. Percuma. Aku sudah fakir kosakata untuk menjelaskan betapa sukanya aku akan pekerjaanku. Aku suka berinteraksi dengan banyak orang, aku suka budaya di kantorku di mana semua orang bebas berbicara dengan santai tanpa pandang hierarki, aku suka cara atasanku memacu karyawannya untuk terus memperluas wawasan, aku suka karena tidak harus pakai seragam, dan aku suka rekan-rekan kerjaku yang semuanya berjiwa muda. Lagi pula gajinya juga lumayan.
Kantorku bergerak di bidang jasa. Kami bukan artis, bukan selebritis, bukan pula komedian, tapi kami pandai menghibur klien.
No! Bukan! Jangan mulai berpikir seperti ibuku. Please, itu melelahkan.
Tugasku hanya menemani orang lewat obrolan saja. Ya. Serius. YukNgobrol.com. Itu nama kantorku. Memang belum sebesar startup lainnya, sih, jadi mungkin banyak yang belum dengar. Umurnya baru satu tahun, jumlah total pegawainya juga baru sekitar 300-an orang, dan baru mengkover area Jabodetabek saja. Jadi, jangan bayangkan gedung kantor yang besar dan megah seperti yang banyak ditemui di jalan-jalan protokol. Kantornya hanya bangunan sederhana dengan lima lantai yang bahkan lahan parkirnya pun mencerminkan susahnya cari tempat di Jakarta. Di depan gedung, nama kantor kami terpampang dengan mencolok, YukNgobrol.com, seakan ingin mendobrak sekat yang sering secara tidak sadar kita bangun sendiri.
Di zaman yang sudah serba canggih, saat semua serba otomatis, dan teknologi serta robot semakin menggila, YukNgobrol.com hadir guna memuaskan dahaga orang-orang yang merindukan interaksi antar manusia.
Singkatnya, YukNgobrol.com adalah aplikasi berbasis GPS yang tidak hanya menunjukkan arah, tapi sekaligus menemani para pengendara saat mereka mengarungi kemacetan di Jabodetabek. Jadi, orang-orang yang menyetir atau bermotor sendirian kini bisa punya teman mengobrol yang seru. “Sendirian Tapi Nggak Kesepian.” Itu motonya.
Hebatnya lagi, YukNgobrol.com dilengkapi dengan sistem monitor yang tidak hanya bisa membaca kepadatan lalu lintas di area klien, tapi juga membaca kecepatan berkendaranya. Bahkan, sistem itu bisa menunjukkan apabila kendaraan yang dikendarai klien berpindah jalur. Jadi, kami bisa mengingatkan kalau klien menyetir terlalu cepat atau mungkin zig-zag karena mengantuk.
Di kantor, kami disebut Teman Ngobrol. Klien bebas untuk memilih ditemani Teman Ngobrol Laki-Laki atau Teman Ngobrol Perempuan. Dan, untuk menjaga kerahasiaan serta privasi, saat bekerja semua Teman Ngobrol Lelaki memakai nama samaran Roy, sedangkan semua Teman Ngobrol Perempuan memakai nama samaran Lisa.
Hari ini aku masuk di sif tiga, yaitu dari pukul 21.00 – 06.00. Kalau sif satu dari pukul 05.00 – 14.00, dan sif dua dari pukul 13.00 – 22.00. Masing-masing sif punya tantangannya sendiri. Sif satu dan dua, cenderung jadi seperti samsak yang siap terima pukulan dari orang-orang yang stres karena Jabodetabek macet parah di waktu berangkat dan pulang kantor, sedangkan sif tiga, walau terkadang seperti makan gaji buta, tapi justru di sif inilah banyak cerita ajaib dari mulai menyangkut makhluk halus sampai soal mesum.
Aku selalu datang minimal 30 menit sebelum sifku dimulai. Termasuk hari ini, ketika sedang tidak satu sif dengan Margo, sidekick-ku di kantor. Aku tidak suka datang mepet dan langsung bekerja. Rasanya seperti robot saja. Aku lebih suka mengawalinya dengan bersantai dulu di Ruang Hore; ruang yang memang didesain sebagai tempat yang nyaman bagi para karyawan makan bersama atau sekadar bercengkerama. Bahkan camilan serta minuman segar selalu tersedia gratis untuk seluruh karyawan.
Sepertinya Mas Ferdy, pemilik dan pendiri YukNgobrol.com, memang ingin “membeli” loyalitas karyawannya dengan menyediakan lingkungan kerja yang asyik. Mas Ferdy ini benar-benar mewakili sosok anak muda zaman sekarang. Umurnya baru 37 tahun, tampan, dan badannya bagus akibat rajin olahraga. Bayangkan, baru 37 tahun tapi sudah bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi 300-an orang dan berpotensi berkembang pesat. Dia lulusan sebuah universitas di Inggris, daaaann... dia laki-laki straight yang belum menikah. Jomlo wangi-lah pokoknya.
Sebagai bos besar, dia sangat menyenangkan, cerdas, tapi tetap ramah dan tidak angkuh. Caranya berbicara ke pegawai seakan dia rekan kerja biasa dan bukan pemilik. Meski begitu, dia tetap membuat semua pegawai segan kepadanya. We are lucky to have such a boss.
“Heh, udah jam 8.55.” Tanto, teman kerja yang kebetulan malam ini satu sif denganku, mengingatkan.
“Iya.” Aku menjawab singkat. Malas bermanis-manis dengan Tanto yang tak pernah ramah dan selalu menyapaku dengan kata “Heh”.
Kini aku sudah duduk di kubikelku dan tepat di pukul 21.00, aku mengaktifkan akunku. It’s time. Semoga kliennya bukan om-om gatal ataupun roh-roh iseng.
Tak perlu menunggu lama, klien sudah masuk di jalur teleponku. Di layar monitor tertera foto profil dan akun klien. Sofi. Dari fotonya dia berusia sekitar 30 tahun, cantik, dan berkelas. Tapi, foto kan sering bohong, ya. Jadi, mari berharap ini benar-benar perempuan yang masih menapak tanah dan masih menyatu antara raga dan rohnya.
“Halo, Mbak Sofi,” sapaku ramah.
“Panggil Sofi aja, nggak usah pakai mbak.”
“Oke. Dari mana mau ke mana nih?
“Dari rumah, mau ke…” ada jeda yang cukup lama sebelum Sofi menuntaskan kalimatnya. “…akhirat”.
“Hahaha,” aku tertawa mendengar jawabannya.
“Kok ketawa?” tanya Sofi ketus.
Aku langsung menghentikan tawaku. Sial. Jangan-jangan ini setan. Ini malam jumat bukan, sih?
“Kaget ya?” tanya Sofi. Lalu dia melanjutkan. “Gue nggak tahu mau ke mana. Gue juga udah nggak ngerti harus gimana? Tunangan gue selingkuh. Dia mau batalin pernikahan kami yang udah tinggal sebulan lagi. Gue pengen bunuh diri aja.”
Oke, confirmed ini bukan setan. Ini benar-benar manusia, berkelamin perempuan, dan kebetulan sedang kalut.
Sofi terdengar serius. Suaranya mulai bergetar. Dia pasti menahan tangis. Aku harus berpikir cepat. Aku harus bisa tenang dan mengatasinya. Jangan sampai dia bunuh diri sambil meneleponku. Aku tidak mau pekerjaanku terancam. Kantor mana lagi yang kasih gaji untuk mengobrol?
Memori di otakku mulai memutar pelajaran yang kami terima pada saat pelatihan. Hal pertama; tekan tombol bantuan. Tombol ini terhubung ke Team Leader yang duduk di pinggir ruangan dengan posisi meja lebih tinggi menyerupai podium agar bisa mengawasi para Teman Ngobrol yang sedang bertugas. Tombol ini harus ditekan ketika ada obrolan yang aneh atau menakutkan atau berisiko seperti yang sedang aku alami ini. Team Leader akan langsung bisa ikut mendengar semua percakapan antara si Teman Ngobrol dengan klien dan dia bisa membantu memberi arahan melalui internal chat. Aku pun langsung menekan tombol bantuan dan mengirim chat kepada Mas Jafar, Team Leader sifku.