“Saya ngasih kamu keringanan dalam urusan kerjaan rumah, jatah bulanan kamu juga besar, hidup kamu sekarang udah enak. Jadi, jangan salahin saya, dong, kalau misalnya saya pengen minta keuntungan juga. Saya ini pria, mana mungkin bisa hamil. Saya nerima kamu karena risi dengerin omongan mama soal cucu. Setelah anak itu lahir, silakan kamu pergi dari kehidupan saya,” ujar Aksa seraya menyeruput secangkir kopi susu hangat dengan santai.
Dia seakan tidak peduli bagaimana reaksi Emily mendengar kalimat pedasnya. Sikap tenang yang diambil Aksa ketika membicarakan kekuasaan dirinya di rumah, selalu berhasil membungkam mulut Emily dalam sesaat.
“Kau harusnya punya catatan dalam otakmu itu. Saya gak mungkin mau nikah sama kamu.”
“Aku inget, Sa! Tapi, walau kamu bilang gak cinta dan membenci keberadaanku, tolonglah kamu hargai aku di rumah ini. Jangan seenaknya bawa perempuan pinggir jalan masuk rumah dan berbuat semaumu! Coba bilang aku harus ngapain? Aku bukan istri yang sekedar buat pajangan yang gak punya hati!” protes Emily terhadap Aksa. Tanpa bisa tertahan emosinya meluap setiap kali dia mencoba bertahan.
Ingatan ketika dirinya merasa menjadi wanita yang dibeli seperti barang bekas di rumahnya selalu menusuk tajam. Jika bukan karena hutang budi terhadap keluarga Ulrich Walther, dia juga tidak ingin berada dalam posisi ini.
Satu tahun sudah dia menjalani rumah tangga dengan Aksa Pradipta, pria berusia dua puluh lima tahun yang telah sukses di usia muda. Bisnis dari keturunan Ulrich Walther dalam bidang teknik dan elektronika menjadi keuntungan sekaligus jurang bagi Emily.
Satu sisi, Emily bisa bernapas lega karena bisa membalas kebaikan Tuan Karl Ulrich Walther yang telah berbaik hati mengadopsinya dari panti asuhan di Jerman dua puluh tahun lalu. Tetapi, di sisi lain. Perlakuan cucunya yang bernama Aksa terlalu menyakitkan seperti pisau.
Setiap hari Emily disuguhkan pemandangan mengerikan. Aksa selalu saja membawa perempuan dari kelab malam ke salah satu kamar rumah mereka.
Sungguh, ingin sekali Emily bersikap tegas. Memaki pria itu dengan semua amarahnya atau menuntut perpisahan di antara mereka. Namun, itu hanya akan berakhir sia-sia.
Aksa begitu pandai berperan seperti pangeran berkuda putih atau sejenis malaikat tanpa sayap. Dia bersikap manis di depan ayah dan ibu kandungnya seolah rumah tangga mereka baik-baik saja. Emily tidak bisa menolak ketika perlakuan spesial dari mertuanya yang ingin menimang cucu dalam waktu dekat.
“Hati? Udah saya peringati dari awal, ‘kan? Jangan pernah bawa perasaan di hubungan kita. Kalau kamu udah terlanjur bawa perasaan gak berguna itu, jangan minta tanggung jawab ke saya. Karena saya gak akan peduli,” jawab Aksa.
Pria itu beranjak dari kursinya dan meraih gawai beserta kunci mobil di atas meja. “Satu lagi,” kata Aksa. “Orang miskin juga tau, sofa itu tempat duduk. Bukan buat tidur. Kecuali kamu emang mau numbalin badan ke nyamuk tidur di sana semaleman!”