“Kenapa, Sa? Apa segitu besar rasa benci dalam diri kamu buat aku? Selama sepuluh tahun nerima penolakan kamu. Itu karena aku sadar diri! Aku cuma anak buangan yang dipungut sama kakek. Tapi sekarang kenyataannya beda, Sa! Kita berdua udah nikah!” tegas Emily. Berkali-kali dia menyeka basah air mata di pipi, berharap air itu akan menyusut. Namun, pada akhirnya tidak bisa.
Emily terisak di hadapan Aksa dan gadis itu. Membiarkan semua mata tertuju padanya tanpa ada malu. Dia terlanjur menumpahkan semuanya, bahwa sekuat apa pun wanita. Mereka adalah makhluk yang paling rapuh.
“Buat saya itu enggak ada bedanya. Kamu tetaplah Emily si anak jalanan. Kalau bukan karena mama, lebih baik saya gak menikah sama sekali.” Aksa menjawab datar.
Emily mengambil napas sebelum bicara. “Kalau begitu. Aku bakal mewujudkan keinginan kamu, Sa. Kamu mau bebas, ‘kan? Oke! Aku bakal bilang ke mama kalau kita udah sepakat buat pisah!” kata Emily lebih tegas. “Bener kata kamu. Aku cuma anak jalanan yang gak punya orang tua. Jadi seharusnya gak ada urusan juga kalau misalnya mama jatuh sakit dan meninggal karena perceraian kita. Dia mamamu, bukan mamaku!”
Emily menyeka kembali air mata terakhir yang meluncur di pipinya. Dia mengambil napas sejenak meneguhkan hati berkata demikian di depan Aksa.
Tanpa menoleh lagi ke belakang, Emily berlari cepat meninggalkan MyZeil, dan mereka yang telah berani melukai hatinya sampai sedalam ini.
***
Sesampainya di rumah, Emily membuka pintu dan berlari kecil ke dalam. Matanya telah sembap setelah terlalu lama menangis di perjalanan pulang. Kesedihan hari ini menempel lekat bagai ekor yang menghantui Emily.
“Dasar bodoh! Kenapa coba aku nangis karena dia? Dia aja gak pernah peduli gimana sakitnya aku!” Emily memaki dirinya sekaligus menyeka tetesan air mata terakhir di pipi.
“Kuat, Emily! Kamu gak boleh kalah sama Si Aksayton. Dia itu cuma kelebihan duit, makanya bisa ngomong gitu. Coba aja kalau dia kere, mana ada cewe yang mau! Aksa nyebelin!” teriaknya lagi di ruang tamu.
Walau makian itu tidak tersampaikan langsung. Namun, bagi Emily sangat berarti. Dia tahu persis karakter Aksa sejak kecil. Pria itu hanya kelebihan gengsi dan tidak pernah mau jujur apa yang dirasakannya.
“Emily?” Seseorang menyapa.
Pandangan Emily pun terpusat pada seorang wanita cantik berambut hitam pekat dengan pipi chubby yang berjalan dari arah ruang keluarga.
Seorang wanita yang sangat berarti bagi hidup Emily. Dia adalah ibu baginya.
“Mama!” Emily berlari kecil ke arah Nayla. Dia memeluk erat wanita itu sehingga bisa tercium wewangian khas ibunya yang sangat dirindukan.
“Kenapa kau memaki Aksa, humh? Apa dia berbuat ulah lagi? Bilang ke mama. Biar nanti mama yang marahin dia,” ujar Nayla seraya mengusap lembut puncak kepala Emily.