Dimensi Ke-5 (Area Terlarang)

Yuera Prameswari
Chapter #1

Chapter 1

Indonesia, 2017

Siang hari yang sibuk. Awan berarak menemani segala aktivitas yang terjadi di IbuKota ini. Beberapa karyawan dari berbagai instansi memadati trotoar. Tidak untuk pulang kerumah, tentu saja. Melainkan untuk mengistirahatkan otak mereka sejenak dari seabrek pekerjaan yang diberikan oleh atasan mereka. Memanjakan cacing-cacing dalam perut mereka yang telah menggeram sejak amunisi pagi telah kosong. Yang perlu mereka pikirkan kali ini adalah menu apa yang akan dipilih. Restoran? Atau di warung kaki lima, kaki mereka akan melangkah? Bagi mereka, harga tak menjadi masalah. Di era ini, para pemilik perusahaan harus rela merogoh kocek yang sangat dalam untuk memberi upah para karyawan. Segala kebutuhan primer ataupun sekunder, selalu meningkat setiap tahunnya. Entah Negara yang bermasalah ataukah dari pemerintah? Tentu mereka tidak akan peduli dengan itu semua. Hidup mereka akan terjamin, selama mereka memiliki pekerjaan di gedung bertingkat. Tidak perlu merasa takut, jika sewa rumah akan meningkat. Tidak perlu berpikir untuk menjalani kehidupan esok hari. Hidup mereka tak akan seperti batu keras yang terkikis oleh air.

Sayangnya, tidak semua orang yang tinggal di kota ini, memiliki hidup yang layak seperti itu. Hampir tujuh puluh persen penduduk, harus berjuang hanya untuk untuk sesuap nasi. Seperti Gin. Gadis yang tengah terlibat dalam suatu perkelahian dengan beberapa pemuda. Surai ikal coklatnya yang lusuh tergerai di udara, saat ia melakukan pukulan memutar pada salah satu pemuda. Beberapa luka serta lebam pun menghiasi wajahnya. Selama sepersekian menit, ia berusaha melumpuhkan kelompok pemuda tersebut. Hal mustahil tentu saja, ia dapat memenangkan perkelahian. Hingga! Salah satu pemuda memukul tengkuknya dengan sebalok kayu, yang membuat dia terhentak sebelum akhirnya tersungkur di tanah. Derap langkah salah satu pemuda menggema. Terdengar mengerikan. Mendekati Gin yang tak berdaya. Mempererat jemarinya pada kayu. Dan!

"Cut!" Suara barito yang menggema, mengakhiri aksi mereka.

Gin bergegas berdiri. Mrlemparkan senyum pada kelompok pemuda yang berkelahi dengannya tadi.

"Gin.. kau baik-baik saja? Pukulanku terlalu keras?" Tanya pemuda yang beradu akting dengannya.

"Aku baik-baik saja," jawabnya dengan tawa renyah.

"Hei, kalian! Cepat keluar dari lokasi," teriak pria yang memiliki suara barito sebelumnya.

Seorang gadis yang berpakaian sama dan dandanan yang juga persis dengan Gin pun segera memasuki lokasi syuting, ditemani beberapa asisten. Sejenak ia berhenti. Menatap Ginny.

"Kerja yang bagus," ucapnya, diselingi dengan senyum ramah.

"Terima kasih!" jawab Ginny, juga tersenyum ramah.

———

Ginny berjalan keluar dari ruang ganti. Lebam yang sebelumnya menghias wajah mulusnya pun telah tertutup plester coklat. Bekas membiru tersebut bukanlah sebuah karya seni dari penata rias. Ia sering mendapatkan luka-luka seperti itu. Terkadang, memberikan adegan yang hebat, diperlukan pengorbanan yang cukup besar. Motto-nya. Sebagai seorang pemeran pengganti di film laga, dia telah terbiasa dengan luka-luka kecil seperti itu. Bahkan tahun lalu, ia sempat menjalani operasi kaki kanannya yang patah akibat adegan jatuh dari tangga. Tak pernah ada penyesalan darinya karena telah memilih pekerjaan tersebut. Meski ia harus memutar waktu, harus memilih pekerjaan apa yang akan dilakoninya, ia akan tetap memilih profesi itu.

Tetapi, Adakala, saat hatinya mengirim sinyal lelah pada tubuh, ia pun sempat berpikir akan mencari pekerjaan lain. Yang lebih menjanjikan soal upah tentunya. Namun saat otaknya bekerja, ia pun berpikir akan realita. Akan teramat sulit mencari pekerjaan di kota yang populasi penduduknya semakin membludak tiap tahun. Dan.. bagaimana dengan hidup bibi serta dua adiknya yang bergantung padanya? Bertahan dan berjuang! Dua kata yang terpatri pada jiwanya.

"Gin!" pemuda yang melakukan adegan dengannya, menghampiri.

Gin menghentikan langkah dan memutar haluan.

"Rey? Ada apa?"

"Kau tak ingat ini hari apa?"

Segaris kernyitan muncul di dahinya, sementara dua bola matanya berputar searah jarum jam.

"Ah! Hari ini kita menerima upah bukan?" Jentikan jari putihnya terdengar.

"Tsk," Rey mendecakkan lidah. "Ini milikmu."

"Terima kasih," cetusnya, menerima amplop berwarna putih.

"Masih pukul tiga sore. Pekerjaan kita sudah selesai. Kau-akan pergi kemana setelah ini? Bagaimana jika kita makan bersama?" pinta pemuda berwajah oriental tersebut.

"Rey, maaf. Aku-"

"Kau harus segera pulang untuk membelikan adik-adikmu makanan kesukaan mereka, kan?"

Gin hanya menjawab dengan anggukan. Tersenyum menyesal. Ponselnya berdering, beberapa detik kemudian. Segera ia mengambilnya dari dalam saku.

"Maafkan aku Rey, nanti aku akan menghubungimu. Aku pergi dulu!" ucapnya tergesa-gesa.

Bahkan, Rey tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Kata-katanya pun menggantung di udara, diselingi dengan desahan panjang.

Rey cukup tampan untuk menjadi seorang pemeran pengganti. Tak sedikit produser yang telah menawarkannya untuk menjadi aktor. Akan tetapi, Rey selalu menolak begitu saja. Alasannya, karena ia tidak ingin disibukkan dengan hingar bingar kehidupan artis. Meski alasan yang sebenarnya adalah agar ia selalu dekat dengan Gin.

"Dia menolak lagi?" cetus seorang pemuda yang datang dari arah belakang, berdiri tepat disampingnya. "Jika aku hitung ini sudah yang.. ke-tiga puluh lima kalinya! Wah, Gin sangat keterlaluan. Rey.. apa yang kau cari dari gadis biasa, seperti dia? Memang.. dia cukup cantik. Tapi.."

"Bagiku, ia adalah seorang gadis yang hebat. Aku suka kepribadian-nya. Pemberani. Tangguh. Tidak manja seperti gadis kebanyakan."

"Memang.. dia cukup hebat. Bahkan, sangat hebat untuk membuat kau gila seperti ini! Kau menolak Shareen dan artis cantik yang lain demi dia!"

Rey tersenyum miring mendengar ucapan teman seprofesi-nya tersebut.

"Rey! Ini milik Gin, kan?" seorang gadis menghampirinya, dengan membawa dompet berwarna putih, bermotif bunga. Saat senyumnya telah setengah pudar.

"Ah, gadis itu ceroboh sekali," gerutunya seraya mendecakkan lidah.

Rey segera berlari setelah mengatakan itu. Menghiraukan teriakan panggilan dari temannya.

***

"Kakak akan membelikan makanan kesukaan kalian. Kembar! Tunggu kakak."

Gin memutus telepon. Meletakkan ponsel dalam tas selempang. Mendesah singkat. Mendongakkan kepala seraya berjalan.

"Mungkin saatnya harus membeli payung."

Sneaker putih-nya terus berjalan dengan riang, setelah itu. Senyum mengembang di wajah-nya. Sesekali menunjukkan sederet gigi rapinya. Menggenggam erat amplop. Berisi jerih payah-nya selama satu bulan. Dengan uang itu, ia sebenarnya mampu membeli mobil bekas, agar tak lagi basah karena kehujanan. Tak lagi berdesakkan di dalam bus umum. Tetapi, pemikirannya tak sepicik itu. Hasil kerja kerasnya pun akan diberikan pada Maria, nama bibinya, untuk membayar sewa rumah dan kebutuhan adik kembarnya. Sebagian lagi, akan ia sisihkan untuk ditabungkan. Semenjak dulu, impiannya hanya satu. Membahagiakan mereka tentu saja. Prioritas utamanya adalah keluarga. Baginya, keluarga adalah separuh jiwanya.

Langkahnya berhenti seketika. Memutar kedua bola matanya. Tersenyum simpul. Menatap amplop di genggaman, seraya menggerakkan biji mata ke kanan serta ke kiri.

"Wah, lebih banyak dari biasanya," katanya, sembari menghitung uang dalam amplop.

Namun kesenangan itu, tak ia nikmati sendiri sepertinya. Sejak keluar dari gedung, seseorang tengah membuntutinya. Sesekali bersembunyi di balik pepohonan, yang berdiri di pinggir jalan. Seperti harimau yang tengah mengintai mangsanya. Dalam sepersekian detik, ia terus menatap detak jam tangan serta Gin secara bergantian. Hingga akhirnya laki-laki yang mengenakan jaket hoodie berwarna hitam itu merampas amplop milik Gin dan berlari kencang. Membuat gadis berkulit putih susu itu tersentak kaget. Melebarkan mata. Sebelum akhirnya ia berlari mengejar perampok tersebut.

"BRENGSEK! BERHENTI KAU!"

Kata-kata tersebut terus terdengar sepanjang ia berlari. Sangat kencang. Meski, beberapa pejalan kaki memperhatikannya, namun tak satu pun dari mereka memiliki niat untuk membantunya. Pun Gin tak berteriak, untuk meminta tolong. Percuma.

Hingga petir menggelegar. Awan mendung cumulus siap memuntahkan cairan-nya, mereka tetap saling berkejaran. Nafas tersengal terdengar dari Gin. Begitu juga perampok yang berada beberapa meter di depannya. Ia menengok ke belakang. Mendengus singkat. Mengejek Gin. Tak mungkin gadis ramping itu bisa menangkapnya, pikirnya. Pemikiran yang salah, tentunya. Gin adalah gadis yang pantang menyerah. Keras kepala. Bertekad kuat. Sangat. Segera ia berlutut dengan satu kaki, mengeratkan tali sepatu. Mendesah singkat. Sejurus picingan tajam ia tujukan pada perampok tersebut. Kernyitan heran pada dahi perampok menyambut.

"Gadis gila!" umpatnya.

Lihat selengkapnya