Korea Selatan, 2023
Di dunia yang telah memasuki era robotic ini, banyak hal yang terjadi diluar nalar. Para ilmuwan selalu mencari bahan penelitian. Dimana suatu penelitian yang dianggap tak masuk akal oleh beberapa kalangan masyarakat di bumi. Seperti pada tahun 1994. Dr. Alexander Wolszczan menemukan bukti tak terbantahkan tentang system eksoplanet yang membuat para ilmuwan mulai mencari planet alien. Hampir seluruh lapisan masyarakat hingga detik ini masih percaya dengan adanya mahluk bernama alien. Meskipun belum ada bukti yang otentik untuk membuat mata dan otak kita percaya, jika ada kehidupan lain, di planet selain bumi. Pun banyak beberapa tokoh yang terkenal karena memiliki suatu kelebihan. Seperti Michel de Nostradame atau lebih terkenal dengan nama Nostradamus. Pria berkebangsaan Perancis ini adalah seorang astrolog juga penulis. Dalam bukunya yang berjudul Les Propheties, Nostradamus dianggap menulis sebuah prediksi tentang sejumlah kejadian besar yang terjadi di dunia.
Namun sedikit orang-orang di dunia tahu tentang orang yang dapat menjelajah waktu. Seseorang pernah mengklaim dirinya pernah melintasi waktu dan menceritakan kejadian di masa lampau ataupun di masa depan. Namun sebagian masyarakat yang mendengarnya, menganggap orang itu hanya berimajinasi atau bahkan menganggap orang itu sudah kehilangan akal. Maka dari itu Time Traveller atau Penjelajah Waktu pun dianggap hanya dongeng semata.
"Kami—adalah penjelajah waktu."
"Omong kosong," kata Gin. "Kau hanya bercanda, kan?"
"Apa wajahku terlihat seperti sedang bercanda?"
"Tidak," katanya. "Jadi, yang kau katakan adalah.. jika kau dan keluargamu, maksudku mereka adalah seseorang yang dapat melintasi waktu?"
Kim meyakinkan dengan anggukan. Menatap gadis yang memiliki tinggi 160 senti itu. Penuh keyakinan.
"Sungguh tidak masuk akal."
"Apa lebih masuk akal, kau hanya melewati jembatan dan tiba-tiba berada di Korea Selatan? Di tahun 2023?"
Segaris kernyitan pada dahi Gin, sejak tadi tak kunjung hilang. Justru semakin mengerut. Desahan panjang tak pelak, terus keluar darinya. Menatap tak tentu arah. Berpikir. Tentu bagi Gin ini semua sungguh tak masuk akal. Gila. Selama dua puluh empat tahun hidupnya, tak pernah mengalami hal konyol seperti ini.
"Kau masih tidak percaya, nona?"
"Se-sebentar.. biarkan aku berpikir."
Gin berdiri dengan jemari yang saling bertautan. Bergumam. Berulang. Berjalan kesana-kemari. Kalian tahu? Seperti orang tengah kerasukan hantu gila. Ini mimpi. Dua kata itu yang sejak tadi ia gumamkan. Sementara Kim hanya duduk dengan berpangku tangan. Memperhatikan Gin. Sangat paham dengan situasi yang tengah dihadapi Gin. Karena ia pernah berada di posisi Gin. Saat ia pertama kali melakukan pelintasan waktu yang terjadi secara tiba-tiba. Bukan seperti Gin yang tak sengaja terseret. Mungkin bisa dikatakan, Tuhan telah memberikan kesempatan kedua untuk hidupnya. Keajaiban. Saat seluruh keluarganya telah terlahap oleh kemarahan api yang membakar habis rumahnya, lima tahun yang lalu. Yang akhirnya membuat bibi Kim menjadi tuna wisma. Tak ada satupun yang mau membantunya. Berbeda ketika ia masih kaya. Saudara juga para tetangga dan temannya selalu datang ke rumah. Kim selalu menyambutnya dengan hangat. Sebaliknya, saat ia dalam kondisi terpuruk, saudaranya pun tak sudi menampung Kim. Seperti itulah manusia. Memiliki akal tapi kadang tak bermoral. Memiliki perasaaan tapi membutakan diri.
Kim tak lagi memiliki semangat hidup, setelah kejadian itu. Satu-satunya harta yang tersisa adalah sepasang pakaian yang melekat pada tubuhnya. Pikirannya menjadi gelap. Kelam. Berjalan dengan langkah tanpa harapan. Ditemani dengan semilir angin malam yang menyelinap pada pori-pori kulit. Dingin. Kim berhenti di jembatan yang tepat dibawahnya adalah sungai Han. Airmatanya mengalir begitu saja. Perlahan kaki pucat lusuhnya memanjat pagar pembatas. Membentangkan kedua tangan. Menjatuhkan diri pada sungai yang bermuara di laut kuning, China tersebut. Siapapun yang menceburkan diri di sungai Han, dipastikan takkan selamat. Akan beruntung jika mayat mereka ditemukan.
Berpendar cahaya putih terang dari dalam sungai. Sejenak lokasi yang sebelumnya gelap, menjadi terang dalam beberapa detik. Kim sempat merasakan dirinya terapung dalam sungai dengan mata tertutup. Tetapi, saat ia membuka mata, ia telah berada di daratan dengan nafas tersengal. Tersungkur di tanah. Mengedarkan pandangan. Mengernyitkan dahi. Melihat seorang pria berdiri. Berlawanan arah dengannya. Apa aku sudah berada di surga? Dan dia adalah malaikat mautku? Itulah yang ada di pikirannya.
"Kita berada di surga?"
"Surga takkan menerima seseorang yang berputus asa pada kehidupan."
Pria berkemeja putih itu, memutar badan. Berlutut di depan bibi Kim.
"Kau masih berada di Korea Selatan, bibi."
"Apa? Tak mungkin. Bangunan-bangunan tua itu tidak seperti di Korea Selatan."
"Di tahun 1988."
Itu adalah kali pertama Kim bertemu dengan Ken. Secara kebetulan tentunya. Dia menjadi depresi juga bingung, setelah kejadian itu. Otaknya tak dapat mencerna sempurna, kejadian yang menimpanya. Sama dengan Gin. Namun selama satu minggu. Cukup membuat Ken bergidik heran ketika itu.
"Baik," kata Gin, seraya kembali duduk di samping bibi Kim. "Katakan aku telah melintasi waktu. Tapi, bisakah aku kembali? Di Indonesia? Tahun 2017?"
"Itu hal yang mudah, nona."
Mendengar itu Gin pun mendesah lega.
"Tapi.."
"Tapi?"
"Kami memang penjelajah waktu. Tapi, kami memiliki satu kondisi," bisiknya.
"K-kondisi? Seperti apa?" Gin ikut berbisik.
"Jika kami pernah mengunjungi Negara tersebut sekali saja, maka kami tidak dapat kembali ke tempat itu pada tahun yang sama. Kami harus menunggu satu tahun kemudian, untuk kembali mengunjungi tempat yang sama," katanya. "Dan sayangnya.. beberapa jam yang lalu aku telah mengunjungi negaramu."
Gin memejam kesal. Mendesis. Menahan nafas sesaat. "Lalu.. bagaimana dengan yang lain?"
Kim hanya tersenyum menyesal.
"Jangan katakan mereka juga telah mengunjungi Indonesia di tahun 2017?"
"Kami.. Pergi bersama-sama tadi," katanya. Senyum kikuk menyambut.
"K-kenapa seperti itu? Apa alasannya?"
"Hanya Ken yang tahu. Dan pertanyaan itu tak pernah dijawab olehnya."
Gin kembali berpikir. Mengetukkan kuku jari telunjuk pada meja. Berulang. Mencari cara agar dapat kembali pada tahunnya. Mengolah logika. Sedikit menutup kelopak mata. Sepersekian detik kemudian, dia melebarkan mata.
"Kalian hanya tak dapat kembali pada tanggal saat kalian melintasi waktu, bukan?"
"Itu benar. Tapi, lebih tepatnya satu tahun. Dan kami dapat pergi ke tempat yang sama."
"Saat aku masih berada di Indonesia beberapa saat yang lalu adalah tahun 2017. Bagaimana jika kau mengembalikanku pada tahun 2016?"
"Itu mudah saja."
"Benarkah?"
"Iya. Tapi.. itu telah melawan hukum alam."
"Maksud bibi?"
"Coba kau pikir. Kau melintas waktu pada tahun 2017, benar? Tepatnya pada tanggal tiga belas."
Anggukan Gin menjawab.
"Bisa dikatakan kau menghilang pada tahun dan tanggal itu. Lalu pada tahun 2016 kau masih berada disana, nona. Jika kau kembali pada hari itu, maka kau akan menjadi dua orang. Dan itu akan membuat kacau hidupmu."
"Ah.. kau benar. Lalu apa yang harus aku lakukan?"
Pukulan berulang dari tangannya, mendarat pada kepalanya sendiri. Frustasi.
"Ah, benar!" Jentikan jari terdengar dari Kim. Menyadari suatu hal. "Ada satu orang yang tidak ikut dalam perjalanan kami tadi."
"Benarkah? Siapa?"
Merasa secercah harapan datang, matanya berbinar. Alih-alih menjawab pertanyaan Gin, Kim hanya menghentakkan kepalanya kearah Ken. Hanya kerutan dan desahan kesal yang terlihat dari Gin. Mata yang berbinar pun pudar. Sayu. Karena sebelum bertanya pada Ken pun, ia telah mengetahui apa jawabannya.
"Kau yakin dia akan membantuku?"
"Kita tidak akan tahu hasilnya.. jika belum mencoba," katanya, meyakinkan. "Disamping itu, Ken sebenarnya adalah pria yang baik. Periang. Setidaknya, Sebelum kejadian itu."
Semua berawal dari satu tahun yang lalu. Saat Ken sedang menjalin sebuah hubungan dengan seorang gadis cantik, yang juga penjelajah waktu. Sebut saja ia HeeBi. Lima tahun mereka melintas waktu bersama. Saling mencintai. Hingga memutuskan untuk melangkah ke tahap pernikahan. Sayangnya, tepat di hari pernikahan mereka, HeeBi tidak pernah muncul. Dia hanya meninggalkan sebuah rekaman video yang disimpan dalam sebuah Flashdisk dan diberikan kepada Joe. Dimana video tersebut berisi permintaan maaf dari HeeBi. Membuat Ken dalam kesedihan serta keterkejutan yang tak dapat terelakkan. Ken pun mulai mencarinya dengan melintasi waktu untuk pergi ke tempat yang pernah dikunjungi oleh mereka berdua. Ingin sekali menanyakan apakah alasan HeeBi pergi meninggalkan dia. Namun hingga hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Ken tak pernah menemukan dimana HeeBi berada. Hingga akhirnya dia menjadi arogan serta pendiam. Setiap mengingat kejadian itu, Ken selalu menutup matanya erat-erat disertai desahan panjang yang berulang. Seperti yang ia lakukan, saat ini. Otaknya ingin berusaha melupakan HeeBi, tapi hatinya selalu memberontak agar menyimpan kenangan manis yang pernah terjadi. Bahkan suara lembut dari HeeBi, masih menggema di pikirannya.
"Astaga! Apa yang kau lakukan?!"
Ken terkejut, saat membuka matanya. Mendapati Gin berdiri setengah membungkuk dengan melebarkan mata, memperhatikannya.
"Bantu aku."
"Apa?"
"Aku ingin pulang. Bantu aku."
Ken tersenyum simpul seraya melipat tangan. "Jelaskan.. kenapa aku harus membantumu?"
"Sesuatu yang manusiawi?" bola mata Gin berputar saat mengatakan itu. Bahunya terangkat.
Kening Ken mengkerut, mendengar jawaban Gin.
"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Maksudku.. bukankah itu sesuatu yang manusiawi? Kita makhluk sosial dan seharusnya kita saling membantu. Suatu saat kau pasti akan membutuhkan bantuanku. Tapi, untuk sekarang aku yang membutuhkan bantuanmu."
Ken mendengus. Berdiri. Menyembunyikan jemarinya pada saku celana.
"Aku takkan pernah meminta bantuanmu, nona!" katanya. "Bahkan aku tak mengenalmu. Dan aku bukanlah orang yang akan membantu seseorang yang tak pernah aku kenal sebelumnya."
Nada sarkastik dari Ken, cukup membuat Gin kesal. Namun ia menahannya.
"Aku Gin. Dan kau Ken Choi, kan? Bibi Kim yang memberitahuku."
Gin meraih paksa tangan Ken. Berjabat tangan.
"Sekarang, bisa kau membantuku?"
Sekali lagi Ken mendengus. "Gadis gila," katanya dalam bahasa Korea. Menghempaskan tangan Gin. Berjalan melewatinya. Bukan Gin jika harus menyerah begitu saja. Ia pun mulai mengekor pada Ken. Sementara Joe dan Kim memperhatikan dari tempat duduknya.
Bicara tentang Joe, ia adalah anggota termuda. Melintasi waktu semenjak berumur tujuh tahun. Joe adalah korban perdagangan manusia terbesar di dunia. Dimana ia harus rela dijual oleh kedua orang tuanya karena tak sanggup memenuhi kebutuhan Joe. Dalam kelompok penjelajah waktu yang didirikan oleh Ken, ia adalah satu-satunya yang tak berasal dari Asia.
Afrika. Ya, itulah Negara Joe. Awalnya, Joe bukanlah seorang penjelajah waktu. Saat itu, ia telah dibawa ke Negara China untuk dipekerjakan menjadi buruh kasar. Namun keberuntungan berpihak kepadanya, saat Joe mencoba untuk melarikan diri tempat itu, dia bertemu dengan Ken di suatu jalan, kota Taipei. Penampilan Joe dulu tidak seperti sekarang. Wajahnya kotor dan bau dengan baju yang sudah tak layak pakai. Berat badannya pun teramat sangat kurang. Ken yang melihat kondisi Joe menaruh simpati padanya. Ingin ikut denganku? Ke dunia yang baru? Itulah yang diucapkan pada Joe. Dan selama beberapa bulan pun ia melatih Joe agar dapat mengedari seluruh dunia hanya dalam satu kedipan. Joe memang tak pernah bersekolah, namun ia cukup pintar dan dengan cepat mempelajari hal-hal baru. Pemikirannya pun sangat dewasa untuk ukuran anak usia sepuluh tahun.
"Menurutmu, Ken akan membantunya?" Tanya Kim, seraya melirik Joe.
Joe menggidikkan bahu sebelum menjawab pertanyaan Kim. "Mungkin saja. Ken berhati lemah. Aku rasa dia tidak akan tega dengan gadis itu."
"Ingin taruhan?"