Dimensi Seperempat Abad

Ningrati Sumarto
Chapter #1

Prolog

Tak mau kalah dari Aristoteles maupun Rene Descartes. Mereka telah membuat beberapa teori sosial yang sifatnya berbanding lurus, yakni:

Semakin luas pergaulan seseorang, maka, semakin tinggi pula kesadaran akan kesenjangan. Semakin sulit perjuangan hidup seseorang, maka, semakin nyinyir, eh, kritis pula mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Semakin tua usia seseorang, maka, semakin tersesatlah dia dalam melakukan pencarian jati dirinya.

Beberapa teori yang tersebut di atas telah dikultuskan dan ditanamkan pada jiwa-jiwa penuh kedilemaan. Pemuda-pemuda krisis eksistensi, miskin privilese dan juga akses untuk mencapai puncak piramida kebutuhan Moslow di era 4.0. Nyatanya. jangankan puncak, bahkan saat ini mereka masih harus berjuang di lapisan paling dasar. Mereka yang seringkali dihadapakan pada posisi-posisi rumit antara tetap idealis, oportunis, atau pragmatis.

 Mereka yang semakin dewasa semakin merasa terjebak dalam banyak polarisasi yang lebih menguras energi. Bukan lagi bingung antara Si Buta dari Goa Hantu atau Wiro Sableng, Ultraman atau Kamen Rider, Raisa atau Isyana, tapi pada pilihan yang menuntut lebih banyak tanggung jawab moral terlebih pada diri sendiri. Capres nomer 1 atau capres nomer 2. Antara menganut politik kanan atau kiri. Hitam atau putih. Ke timur mencari jati diri atau ke barat mencari kitab suci.

Tapi akhirnya mereka sadar bahwa manusia memang tak harus selalu meilih satu diantara dua pilihan, tapi tetap berada di tengah sebagai manusia abu-abu. Tetap pro proletar tapi masih sering merelakan diri sebagai pendukung kaum kapital. Setia makan di warung pecel lele pinggir jalan tapi tak melupakan makan franchise asal Amerika. Nasionalis, kadang agamis juga buku-buku Marxis.

Beberapa waktu belakangan juga bertambah kritis dengan mempertanyaan banyak hal, baik yang remeh temeh, sedang sampai yang berat. Dari pertanyaan yang sangat Scientific sampai pertanyaan yang tidak akan ada jawabannya di google. Dari pertanyaan siapa orang yang menanam pohon mangga di depan kontrakan mereka hingga mengapa dalam buku sejarah pendidikan formal nama Tan Malaka tak pernah ada. Mengapa Soe Hok Gie, Chairil Anwar dan Kurt Cobain sama-sama meninggal di usia 27 tahun? Tentu, pertanyaan satu itu google tak mungkin bisa menjawab, tapi hanya Tuhan-lah yang tahu jawabannya.

Mereka juga pernah memperdebatkan sebuah fakta bahwa lukisan keluarga tanpa ayah di kaleng biskuit bukan untuk melegitimasi bahwa perempuan adalah pekerja domestik melainkan sebagai simbol perlawanan terhadap budaya patriarki.

Lihat selengkapnya