Kantin Kampus. Agustus, 2014
Di tengah-tengahnya padatnya kantin FISIP, keempat mahasiswa yang telah memasuki semester delapan itu duduk rapi mengelilingi satu meja. Dua soto panas, satu piring pecel, dua gelas es teh dan dua gelas es jeruk telah mereka lahap tanpa tersisa apapaun kecuali sepahan tulang-tulang ayam yang cenderung menjijikkan.
Hari pertama masuk kuliah sejak dua bulan menghabiskan waktu liburan dengan kegiatan-kegiatan yang kurang berfaedah karena sama-sama punya hobi menggibah. Hari itu pun sekaligus awal dari semester delapan yang cukup mendebar-debarkan.
“Jadi semester ini elu ngulang apa aja?” Anggi menyoroti jejak kuliah Ginan yang lebih berantakan dari kapal pecah.
“Banyak. Total 6 kayaknya.”
Ruli membelalakkan mata. “Gileee... itu mata kuliah ngulang apa emak-emak beli gelas? Ampek setengah lusin.”
“Jadi semester ini elo habisin kuliah buat ngulang semua dong?” Pertanyaan dari Bayu yang lebih cenderung ke ejekan.
“Hanya ada dua kemungkinan yang bisa gue lakukan selanjutnya.. tetap melanjutkan kuliah bareng adek-adek tingkat atau.. nggak.” Ginan mengamati wajah sahabatnya satu persatu.
“Nggak?” Semuanya saling berpandangan. “Maksudnya?”
“Elu semua, kan, tahu.. gue masih menganut kepercayaa bahwa gue akan menyaingi Reza Rahadian di masa yang akan datang.”
“Yakin lo?” tanya Anggi. “Jangan, ah, lanjutin aja! Sayang.”
Oke, hingga sampai di detik ini, Bayu dan Ruli adalah orang yang paling pasrah dengan kondisi perkuliahan Ginan dan sudah berusaha menerima dengan ikhlas, lapang dada, dan hati terbuka perihal kemungkinan terburuk jika Ginan harus melepaskan kuliahnya karena lebih sibuk menjadi anggota komunitas teater eksternal kampus.
Dua orang orang itu pun yang paling percaya engan keyakinan Ginan bahwa ia akan menjadi aktor perfilman nasional profesional di masa yang akan datang, entah kapan. Dan Anggi, selaku orang yang paling logis dan perfeksionis diantara ketiganya, ia satu-satunya yang masih berusaha keras untuk menentang pilihan Ginan yang menurutnya bertentangan dengan nilai-nilai sosial.
“Udah, ah, nggak usah bahas gue.. “ Ginan malas untuk melanjutkan topik. “Eh, lu pada liat, deh, sama anak-anak yang pada nongkrong mulai dari pojokan, terus itu di tengah, sama yang pada ngegibah disono.” Bola mata Ginan menunjuk objek-objek yang baru saja dibicarakannya.
“Kenapa, sih?” Ruli bertanya setengah berbisik.
“Kita prediksiin, deh, ntar kalau lulus kemungkinan besar mereka-mereka ini jadi apa?” Ginan tak kalah berbisik.
“Ah, elo udah mau mendahuli Tuhan.” Bayu memprotes dan eleng-geleng kepala dengan seisengan yang Ginan lakukan.
“Emang prediksi yang elo maksud gimana?” Anggi mengehar karena sudah mulai penasaran.
Kadang-kadang mereka juga sok tahu-nya akan masa depan terkesan mendahului Tuhan dan teori-teori buatannya tentang peradaban umat manusia sendiri melebihi Darwin. Terbukti dengan adanya prediksi pengelompokan kelas-kelas sosial berdasarkan tipe-tipe mahasiswa.
“Tipe mahasiswa yang kutu buku, rajin kuliah dan IPK tinggi ialah nantinya akan melanjutkan S2 kemudian jadi dosen, atau kemungkinan yang lain ialah keterima sebagai CPNS. Tipe mahasiswa kedua mahasiswa organisatoris, rajin nongkrong di ruang kesekretariatan UKM, dan tak absen terlibat sebagai panitia-panitia acara kemungkinan besarnya paska wisuda ialah menjadi seorang karyawan dengan posisi elit di kantor-kantor bonafit. Tipe mahasiswa selanjutnya ialah mahasiswa bandel, membudayakan TA, ngulang tiap semester dan lulus hingga titik darah penghabisan alias semester 14 biasanya akan cenerung jadi pengusaha. Tipe mahasiswa aktivis kampus yang tiap minggu rajin mengadakan demo kemungkinan besar akan menjadi sibuk di lembaga sosial. Sedangkan yang terakhir ialah tipe mahasiswa random, alias medioker, alias serba bisa seperti mereka kemungkinan terbesarnya ialah, jadi pengangguran.” Ginan berpidato panjang lebar sambil lalu memberikan contoh langsung dari beberapa mahasiswa yang sedang asyik nongkrong di kantin.
“Ah, dasar elo mendahuli Tuhan.” protes Bayu.
“Pak, tolong lah bedakan, antara mendahuli Tuhan sama prediksi berdasarkan realitas sosial yang sudah-sudah.”
“Haduh, serah lo aja, deh.” Bayu menggeleng-geleng.
Ruli yang baru saja mengosongkan gelas es tehnya kini mulai bersuara. “Iya, Ginan sadar tukang gibah, mending dengerin sebuah info bombastis yang gue punya.”
“Apaan?”
Ketiga makhluk yang terkena framing itu pun akhirnya melongo.
“Teman-temanku.. rakyat jelata.. gue juga mau ngasih satu pengumuman penting kalau gue keterima kerja sebagai salah satu staf ahli IT.”
“Serius? Sumpah?”
“Dimana?”
“Kok, bisa?”