Sepulang sekolah, Naya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia pikir, tempat itu bisa menjadi pelarian sempurna dari keramaian siswa lain. Sepi, tenang, dan penuh buku, itu cukup untuk membuatnya merasa nyaman setelah hari yang melelahkan.
Namun, keputusan itu ternyata membawa Naya ke dalam situasi yang tidak pernah dia bayangkan.
Saat Naya sedang membaca sebuah buku di sudut perpustakaan, suara langkah sepatu bergema di ruangan yang sepi. Naya mengangkat kepala, dan detak jantungnya berdegup lebih kencang ketika melihat Ericka dan Siska berdiri di depannya.
Ericka menyilangkan tangan, senyumnya sinis, sementara Siska berdiri di belakangnya dengan ekspresi yang setengah puas, setengah enggan.
“Jadi, ini dia gadis baru yang sudah berani mencuri perhatian Felix,” ucap Ericka dengan nada rendah, namun tajam. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Naya, matanya menatap langsung seperti seorang predator yang siap menyerang mangsanya.
Naya menelan ludah. “Aku cuma membaca. Kalau kamu mau tempat ini, aku bisa pindah.”
Ericka mendengus, lalu menarik kursi di depan Naya dan duduk dengan santai. “Pindah? Lo pikir ini tentang tempat duduk?” Dia tertawa kecil, dingin, membuat Naya semakin gelisah. “Dengar ya, anak baru. Felix itu milik gue. Semua orang tahu itu. Dan gue nggak suka ada cewek nggak penting yang mendekat, apalagi sok akrab sama dia.”
“Aku nggak pernah berniat—”
“Diam!” Ericka memotong cepat, suaranya menggema di ruang perpustakaan yang kosong. Siska menyeringai kecil di belakangnya. “Gue nggak peduli apa yang lo niatkan. Yang gue tahu, lo perlu belajar aturan di sekolah ini.”
Ericka mengambil buku yang sedang dipegang Naya dan membantingnya ke meja dengan keras. Naya terlonjak kaget, tetapi dia berusaha tetap tenang.
Ericka melanjutkan dengan nada penuh ancaman, "Lo itu cuma anak baru yang nggak punya hak apa-apa di sini. Kalau lo nggak bego, lo bakal tahu kalau main-main sama gue adalah keputusan paling bodoh.”
Naya menatap Ericka dengan mata membelalak, mencoba mengendalikan rasa takutnya. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Ericka memberikan isyarat kepada Siska.
Siska langsung bergerak, menarik tas Naya yang tergeletak di meja. “Apa yang lo bawa di sini, hah?” katanya sambil membuka tas itu dengan seenaknya. Dia mengeluarkan buku catatan dan beberapa barang pribadi Naya, lalu melemparkannya ke lantai satu per satu.
“Berhenti!” Naya mencoba menghentikan Siska, tetapi Ericka menahannya dengan mendorong pundaknya hingga dia terjatuh kembali ke kursinya.
“Diam, atau gue buat ini lebih buruk!” Ericka memperingatkan sambil tersenyum dingin.
Siska menemukan ponsel Naya di dalam tasnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Lihat ini, Ericka. Dia punya ponsel murahan. Apa ini cukup untuk merebut perhatian Felix?” ejek Siska sambil memperlihatkan ponsel itu kepada Ericka.
Ericka mengambil ponsel itu dan memeriksanya dengan ekspresi jijik. “Lo tahu, Felix itu tipe cowok yang nggak akan pernah tertarik sama cewek yang bahkan nggak bisa beli ponsel bagus.” Dia menjatuhkan ponsel itu ke lantai, membuat suara keras yang menggema.
“Kamu terlalu jauh!” Naya akhirnya berseru, berdiri dengan gemetar. Matanya berkaca-kaca, tetapi dia mencoba untuk tidak terlihat lemah. “Aku tidak pernah mendekati Felix. Aku bahkan tidak peduli siapa dia!”