Dimensi Tak Terjamah

Nenghally
Chapter #3

Sekolah Berdarah

“Dek, gue denger dari Desi, lo sempat diganggu Ericka tadi?” tanya Hera sambil menyendokkan nasi ke piringnya. Suaranya datar, tanpa nada perhatian.

Naya menatap piringnya sendiri, mengaduk-aduk makanan dengan garpu tanpa niat untuk makan. Dia tidak langsung menjawab. Apa gunanya? Hera jarang sekali peduli pada apa yang terjadi dalam hidupnya.

Sejak mereka masuk ke sekolah yang sama, Hera selalu menjaga jarak. Di sekolah, dia bahkan tidak pernah mengakui Naya sebagai adiknya. Alasannya sudah Naya tahu, meski Hera tidak pernah mengatakannya langsung.

Hera malu.

Malu punya adik yang dianggap "aneh." Anak indigo.

Naya menarik napas panjang, mencoba menekan rasa perih yang selalu muncul tiap kali mengingat itu. "Cuma masalah kecil," jawabnya singkat, suaranya lirih.

Hera mendengus, meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar. "Masalah kecil apa? Gue tahu Ericka nggak main-main. Kalau dia mulai nyari masalah, lo harus bilang ke gue. Jangan malah diem aja."

Naya mendongak menatap kakaknya. Ada kehangatan di kata-kata Hera, tapi itu hanya sekilas. Naya tahu, itu bukan perhatian tulus. Hera hanya tidak ingin ada keributan yang bisa menyeret nama keluarganya, atau lebih tepatnya nama Hera sendiri.

"Gue bisa urus diri sendiri," jawab Naya akhirnya. Dia berusaha terdengar tegas, meski ada sedikit getaran di suaranya.

Hera tertawa kecil, namun nadanya sarkastik. "Oh ya? Anak aneh kayak lo bisa urus diri sendiri? Lo bahkan nggak bisa pasang muka normal di depan orang."

Kata-kata itu menusuk hati Naya seperti belati. Dia sudah terbiasa dengan tatapan dan bisikan orang-orang yang menganggapnya aneh, tapi mendengar hal itu dari Hera, kakak kandungnya sendiri, selalu lebih menyakitkan.

"Kenapa lo selalu anggap gue beban?" Naya akhirnya bersuara, suaranya pelan tapi penuh emosi. "Gue nggak pernah minta dilahirkan seperti ini, Her. Tapi lo juga nggak pernah ngasih gue kesempatan."

Hera terdiam sejenak, terlihat sedikit kaget dengan keberanian Naya. Namun, ekspresi itu segera digantikan oleh ketidaksabaran. "Gue nggak bilang lo beban. Tapi lo harus ngerti, Naya. Dunia nggak akan ramah sama orang kayak lo. Lo harus lebih kuat kalau nggak mau diinjak-injak."

Naya menatap kakaknya, matanya berkilat penuh rasa kecewa. "Gue udah cukup kuat, Her. Justru karena gue kuat, gue masih di sini, duduk di meja yang sama sama lo, meski lo nggak pernah anggap gue ada."

Hera menelan ludah, kali ini tidak membalas. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia tidak punya kata-kata untuk membela diri.

"Lo nggak perlu khawatir soal Ericka," katanya sebelum pergi. "Gue bisa urus sendiri, kayak biasa."

Hera hanya bisa menatap punggung adiknya yang menjauh, untuk sesaat merasa ada sesuatu yang retak di antara mereka. Sesuatu yang mungkin sudah lama hancur, tapi baru sekarang terasa nyata.

"Eh, eh, kalian ini kenapa sih? Ini waktunya makan, bukan bertengkar," tegur Pak Wisnu sambil meletakkan sendoknya dengan tegas. Suaranya tenang tapi penuh wibawa, membuat suasana meja makan mendadak hening.

Lihat selengkapnya