Setelah kejadian yang penuh kekacauan itu, suasana sekolah perlahan mulai tenang. Murid-murid kembali ke kelas mereka, dan guru-guru mulai kembali mengajar seperti biasa. Namun, bagi Naya, rasa tidak nyaman masih membekas dalam dirinya.
Di sela-sela hiruk pikuk para siswa yang berlarian menuju kelas, Naya melihat Jinu berdiri di pintu kelasnya. Dia tampak lebih sehat, meskipun matanya masih terlihat sedikit kosong. Wajahnya pucat, seakan-akan ia baru saja melewati sesuatu yang sangat berat.
Namun, yang lebih mengganggu Naya adalah kenyataan bahwa tubuh Jinu seakan kehilangan semangat hidup, seperti cangkang kosong yang siap dirasuki kapan saja.
Naya menatapnya dari kejauhan, merasakan ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya pada Jinu. Matanya yang kosong dan tatapannya yang tidak fokus membuat Naya merasa khawatir. Tapi, ia tidak tahu harus berbuat apa. Di sekitarnya, semuanya berjalan seolah-olah tidak ada yang terjadi, dan Jinu tampak seperti kembali normal. Namun, apakah dia benar-benar baik-baik saja?
Sebelum Naya bisa mengumpulkan pikirannya, suara tawa yang familiar terdengar di belakangnya. Tanpa perlu menoleh, Naya tahu siapa yang baru saja datang. Ericka dan Siska. Keduanya berjalan mendekat dengan senyum lebar yang jelas-jelas menyimpan niat buruk.
Seperti biasa, mereka selalu tampak seperti mereka menguasai dunia ini, sementara Naya hanya bisa diam, menahan diri agar tidak terprovokasi. Tapi kali ini, rasa sabar Naya sudah mulai terkikis.
"Hei, Naya," suara Ericka terdengar tajam, menggantung di udara. "Gue denger lo baru aja melakukan sesuatu yang sangat mengecewakan teman-teman."
Siska tertawa di samping Ericka, wajahnya penuh dengan ekspresi mengejek. "Iya, kayaknya lo nggak tahu diri, ya?" katanya sambil menatap Naya dengan pandangan sinis. "Mungkin lo butuh pelajaran sedikit, biar nggak terlalu sombong."
Naya mengernyitkan kening, mencoba untuk tetap tenang meski amarah mulai menggerogoti dirinya. Ini bukan kali pertama mereka mengganggunya, dan dia sudah cukup lelah menghadapi keduanya. Namun, kali ini, rasa sabarnya benar-benar diuji. Apa lagi yang akan mereka lakukan?
Ericka menatapnya dengan tatapan tajam, seolah sedang merencanakan sesuatu. "Jadi, Naya," katanya dengan nada mengejek. "Siapa yang akan menolongmu kali ini? Teman sejatimu, Liya? Atau mungkin Jake?"
Siska menambahkan dengan tawa cekikikan. "Gue rasa mereka terlalu sibuk dengan urusannya sendiri."
Naya menggertakkan gigi, menahan diri untuk tidak membalas perkataan mereka. Dia sudah tahu dari pengalaman sebelumnya bahwa semakin dia merespon, semakin mereka akan mengejeknya. Tapi saat itu, dia merasa ada yang berbeda. Entah kenapa, ia merasa seolah-olah ada yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Sesuatu yang bisa membuat mereka berhenti mengganggunya.
Namun, sebelum Naya sempat membuka mulut, Ericka sudah melanjutkan dengan rencana berikutnya. "Lo nggak akan bisa lepas kali ini, Naya. Kami sudah menyiapkan kejutan khusus."