Malam itu, Desi menutup buku-bukunya dengan helaan napas panjang. Ruang perpustakaan sekolah sudah lengang, hanya tersisa ia dan Felix yang duduk di depannya. Felix meletakkan dua kantong makanan di atas meja.
"Aku bawakan ini dari kantin. Kamu pasti lapar, kan?" ucap Felix sambil duduk santai di kursinya.
Desi menatap kantong makanan itu dengan ragu. "Kamu yakin ini bukan hasil mencuri?" tanyanya, menyipitkan mata curiga.
Felix terkekeh kecil. "Crist masih ada di kantin tadi. Aku beli ini, bukan mencuri. Jangan terlalu negatif pikirannya."
Desi menghela napas lega, lalu membuka salah satu kotak makanan itu. "Crist selalu mengisi stok makanan sampai malam?" tanyanya sambil mulai menyantap makanannya.
"Aku rasaasa dia cuma berusaha membantu orang tuanya. Dia memang pekerja keras," jawab Felix sambil membuka botol minumannya.
Desi memandang jam tangannya dan mendadak berdiri. "Felix, kita harus keluar sekarang. Sudah hampir jam sembilan malam!"
Felix mengangkat alis, bingung dengan tingkah mendadak Desi. "Kenapa buru-buru? Kamu takut tentang rumor sekolah ini?"
Desi meraih tasnya dan menarik tangan Felix. "Bukan soal percaya atau tidak, tapi nggak ada salahnya berjaga-jaga. Kamu tahu sendiri sekolah ini memang terkenal angker!"
Mereka bergegas keluar dari perpustakaan menuju pintu gerbang. Namun, saat mereka tiba di sana, suasana berubah menjadi mencekam. Semua lampu sekolah sudah dipadamkan, dan pos satpam kosong. Gerbang sekolah terkunci rapat.
"Felix, kita terjebak?" tanya Desi dengan nada panik.
Felix mencoba mendorong gerbang, tapi sia-sia. "Kamu bawa hp?" tanyanya.
Desi menggeleng. "Tidak. Kamu sendiri?"
Felix mendesah, merogoh saku jaketnya. "Habis baterai."
Mereka berdiri diam di tengah kegelapan, lalu Felix mengusulkan, "Ayo ke kantin. Mungkin Crist masih ada dan dia punya kunci gerbang."
Namun, saat mereka tiba di kantin, suasana gelap gulita. Tidak ada tanda-tanda Crist di sana. Tiba-tiba, Desi merasakan sesuatu menyentuh bahunya. Ia menoleh, tapi hanya Felix yang ada di depannya.
"Felix... aku merasa ada yang menyentuhku..." bisiknya gemetar.
Felix menghentikan langkah dan menatap Desi dengan waspada. "Kamu serius?"
Desi mengangguk. Ia merapat ke Felix, tubuhnya mulai gemetar. "Perasaanku tidak enak. Kita keluar saja dari sini!"
Namun, sebelum mereka sempat melangkah keluar, pintu kantin tiba-tiba tertutup dengan keras, seolah ada yang menghempaskannya. Desi menjerit kecil dan mencengkeram lengan Felix.
"Felix... apa ini?!"
Felix mencoba menarik pintu, tetapi pintu itu tidak bergeming. Ketegangan mulai memenuhi udara.
Sementara itu, di tempat yang sama, Naya terbangun dengan keringat dingin. Namun, ia mendapati dirinya tidak berada di tempat tidur seperti seharusnya. Ia berdiri di tengah lorong sekolah yang gelap.
"Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa di sini? Apa aku mimpi?" bisiknya, kebingungan.
Ia melihat ke arah kantin dan mendapati Felix serta Desi sedang berusaha membuka pintu kantin yang terkunci. Naya berusaha memanggil mereka, tetapi suaranya seolah tidak terdengar.
"Felix! Desi! Ini aku, Naya!" teriaknya, tetapi mereka tidak merespons.