Langit mendung menggantung di atas gedung sekolah saat bel tanda dimulainya pelajaran pertama berbunyi. Namun, suasana pagi itu terasa berbeda. Firasat aneh menyelimuti hati Naya sejak dia melangkah masuk ke gerbang sekolah.
“Pagi ini ada sesuatu yang salah,” gumamnya sambil memandang ke arah lapangan yang lengang.
Desas-desus cepat menyebar di antara para siswa, seperti api yang menyambar semak kering. Seorang siswa ditemukan meninggal di ruang kosong di lantai tiga, ruangan yang sudah lama tidak digunakan karena alasan yang tidak jelas.
“Itu Jinu! Itu Jinu!” teriak seorang siswa dengan wajah panik.
Nama itu membuat Naya langsung terpaku. Jinu? Tidak mungkin. Baru beberapa hari yang lalu dia mencoba bunuh diri, dan sekarang... meninggal?
Naya berlari ke arah kerumunan yang berkumpul di lorong lantai tiga. Ruang kosong itu dipenuhi polisi dan guru yang mencoba menenangkan para siswa. Pita kuning melintang di pintu masuk, menandakan lokasi TKP.
“Jinu...” Naya berbisik, tubuhnya melemas.
Liya, yang memang dikenal suka bergosip, mendekat ke Naya. “Kamu tahu nggak? Tubuh Jinu katanya penuh luka aneh. Kayak habis dicakar-cakar binatang liar,” bisiknya sambil melirik ke sekeliling.
“Dicakar?” Naya mengernyitkan dahi. “Apa maksudmu?”
“Entahlah. Tapi semua ini aneh. Ini bukan kasus pertama. Tiga tahun lalu, ada siswa yang juga meninggal di ruangan ini. Semua orang tahu, tapi sekolah menutupinya.”
Kata-kata Liya menggantung di udara, membuat pikiran Naya semakin berantakan.
“Ada yang aneh di sekolah hari ini,” gumam Naya dalam hati, sambil meletakkan tasnya saat memasuki ruang kelas.
Ana tiba-tiba saja muncul, matanya yang kosong menatap Naya dalam. “Aku tahu. Energi di tempat itu semakin gelap. Ruangan tempat Jinu ditemukan... Itu bukan ruangan biasa.”
Naya mendekat, suaranya nyaris berbisik. “Apa maksudmu?”
“Ruangan itu adalah portal ke sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakannya. Tapi energi di sana begitu kuat, bahkan aku tidak bisa mendekatinya,” jawab Ana, suaranya penuh kekhawatiran.
“Portal?” Naya memicingkan mata, dan kembali berkata dalam hati. “Ini gila. Kamu yakin?”
Ana mengangguk pelan. “Sejak awal, aku tahu sekolah ini menyimpan sesuatu. Tapi aku tidak tahu kalau dampaknya bisa sebesar ini. Dan Jake...” Ana menghentikan kalimatnya.
“Jake? Apa hubungannya Jake dengan semua ini?”
Ana diam, tampak ragu untuk menjawab. Saat Jake masuk ke dalam kelas, Ana menghilang dari sisi Naya.
Naya terdiam, mencoba mencerna apa yang Ana bicarakan. Namun pikirannya buyar, ketika Liya temannya, mengajaknya ke kantin.
"Nay, ke kantin, yuk!" ajak Liya.
"Sebenarnya, aku malu," gumam Naya pelan.