Dunia di sekeliling Naya tiba-tiba terasa sunyi. Suara-suara berbisik dari siswa, tawa samar dari ujung kantin, bahkan detak jantungnya sendiri, semuanya lenyap. Hanya ada keheningan yang pekat, seperti seluruh alam semesta menahan napas. Naya terkejut saat merasakan sebuah energi asing menyeretnya keluar dari tubuhnya sendiri.
Dia membuka matanya, tetapi dunia yang dilihatnya bukanlah kantin. Ini adalah halaman sekolahnya, tetapi dalam bayang malam yang gelap dan mencekam. Angin dingin menerpa wajahnya, menusuk hingga ke tulang. Tak ada cahaya, kecuali sinar bulan yang redup menyelimuti lapangan.
“Di mana aku?” pikir Naya, matanya bergerak liar mencoba memahami apa yang terjadi.
Dia mengenali tempat ini, tapi suasananya berbeda. Tidak ada suara siswa yang berlarian atau lampu-lampu gedung yang biasa menyala terang. Malam itu terasa dingin, sama seperti malam saat ia bermimpi melihat Felix dan Sita terjebak di sekolah.
Kemudian, suara tawa menggema dari arah gerbang sekolah. Tawa itu dingin, tajam, dan menyayat. Dengan langkah hati-hati, Naya mendekat, berusaha mencari tahu sumbernya.
Di sana, di balik bayang gerbang, dia melihat Ericka dan Siska. Keduanya terlihat begitu riang, bersenang-senang seperti tidak ada yang salah.
“Rasain tuh si Sita! Biar mampus dia gak bisa keluar dari sini. Gue udah muak lihat dia nempel-nempel sama Felix,” kata Ericka sambil tertawa lepas.
Naya tersentak. “Sita? Apa maksudnya?”
Siska tampak ragu, menatap Ericka dengan wajah cemas. “Er, kalau besok dia beneran hilang kayak murid-murid lain gimana? Dan kalau Felix tahu…”
Namun, Ericka hanya mendengus meremehkan. “Felix gak bakal tahu. Biarin aja Sita lenyap! Lagian, bukannya lo juga sebel lihat dia selalu sok polos?”
Naya merasa jantungnya berhenti. Kata-kata Ericka seperti pukulan keras yang menusuk langsung ke dalam hatinya. Jadi ini alasan kenapa Sita hampir kehilangan nyawanya malam itu.
Naya mengingat malam itu dengan jelas. Malam ketika dia tanpa sengaja mendapati Felix dan Sita terjebak di dalam sekolah. Gerbang terkunci, dan mereka berdua hampir tidak bisa keluar. Jika saja Naya tidak datang untuk menolong mereka, mungkin nasib Felix dan Sita akan sama seperti Jinu.
Naya merasakan kemarahan perlahan membakar dadanya. Namun, sebelum dia bisa melakukan sesuatu, pemandangan di depannya mulai berubah. Dunia di sekitarnya seperti kabut yang memudar, dan Naya merasa tubuhnya ditarik kembali.
Dia membuka matanya dengan tersentak. Kantin kembali memenuhi pandangannya, bersama suara berbisik dan tatapan penuh rasa ingin tahu dari para siswa. Namun, yang paling menarik perhatian Naya adalah tangan Ericka yang kini terhenti di udara, tertahan oleh tangannya sendiri.
“Apa yang—” gumam Ericka, matanya membelalak karena tak bisa bergerak.
Naya melepaskan cengkeramannya, dan Ericka terhuyung mundur. Namun, amarah gadis itu belum mereda.
Saat Ericka melepaskan tangannya dari Naya, sesuatu yang aneh terjadi. Tangan Ericka, yang tadi digenggam erat oleh Naya, tiba-tiba membiru, seolah darahnya membeku di bawah kulitnya. Ericka menatap tangannya dengan panik, dan teriakan kecil lolos dari bibirnya.