Terik menyengat. Debu-debu berkejaran di udara yang padat. Suhu yang panas, memaksa kain yang melingkupi tubuh menampung keringat-keringat mereka yang berjalan. Siang di negara tropis, beginilah wujudnya. Aku menarik napas, berusaha menikmati aroma tanah kelahiranku lagi setelah sekian lama. Kulongokkan kepalaku lebih dekat ke jendela.
Anak-anak kecil dan para pemuda bersaing untuk merebut perhatian para pengemudi mobil. Para pedagang asongan naik-turun bus selagi lalu lintas padat merayap akibat beberapa ruas jalan yang berlubang di jalan-jalan utama. Motor-motor, angkutan kota, mobil pribadi, bahkan bus saling berusaha menyalip dalam keadaan seperti itu, ingin saling mendahului. Aku yakin mereka bukan tidak mengetahui peraturan lalu lintas, tapi para pengemudi itu bersikap seakan peraturan ada untuk dilanggar. Para pedagang barang maupun pedagang jasa seperti menghalalkan segala cara untuk mengejar pendapatan mereka. Tapi, aku tak menyalahkan mereka.
"Setiap orang hanya berusaha bertahan hidup dengan kenyataan di depan mereka, kan?” Aku mendesah pelan, lebih berbicara kepada diri sendiri.
Kerinduan kepada teman diskusi terbaik lagi-lagi kembali menyesakkan. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku dan Galal duduk berdampingan di bus menuju ke bandara, aku menanyakan hal yang sama.
"Semua sibuk bertahan hidup sendiri-sendiri. Kaya negeri yang gak ada pemimpin ya?" ujarku kepadanya.
Galal kala itu hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Wajahnya seperti menahan tawa.
"Maksud aku, pasti ada proses kan bisa sampai begini? Gimana memperbaikinya?"
"Gini toh rasanya nikah sama mahasiswi yang baru lulus." Galal tidak bisa menyembunyikan nada geli di suaranya, "Masih penuh idealisme ya... Bentar lagi keluhannya bakal tambah panjang. Negeri kit---aw!" Galal protes kesakitan ketika rusuknya kusikut. Kesal.
"Bukan gitu! Aku cuma pengen tau kenapa jalanan jadi semrawut begini?"
Ia melepas tawanya, "Selamat datang di realita, istriku. Beginilah kehidupan yang bukan sekedar kata-kata ala mahasiswa."
Aku mencibir atas sindirannya yang tak henti, lalu memalingkan wajah kembali ke luar jendela. Namun Galal malah ikut melongok, sengaja menempelkan wajahnya ke pipiku. Membuatku menjauhkan kepala dan mengangkat alis, protes.
"Kamu liat apa sih? Oooh..." Galal tersenyum mengindahkanku, matanya bergerak-gerak mengikuti pergerakan manusia yang ia lihat. "Kamu bisa kaya mereka." ujarnya sejurus kemudian.
"Aku? Hah, bisa kaya mereka apa maksudnya?" Galal selalu tahu bagaimana menguapkan amarahku. Satu kata darinya, aku langsung ingin mengajaknya bicara lagi.
Galal tersenyum penuh kemenangan, "Iya, kalau mau ngubah sesuatu, lakuin aja kaya mereka." Ia kembali duduk di kursinya.
Aku ikut duduk, dan mendekat.“Maksudmu? Mereka yang berada di pinggir jalan?”
“Siapa pun, yang bikin kamu nahan napas waktu ngeliatnya dan bikin kamu mikir negeri ini perlu diperbaiki. Apa yang kamu lihat dari mereka?”
“Eu.. mereka sibuk bertahan hidup?”
Ia mengangguk, “Yak, itulah yang bakal kamu lakukan juga.”
Aku bingung. Lalu tak sabar bertanya lagi, “Aku gak ngerti, bukannya aku baik-baik saja? Aku harus bertahan hidup dari apa?”
“Dari keterbatasan. Kaya mereka. Bukan mereka yang perlu dikasihani ko, tapi kita. Hidup mereka diuji dengan sumber daya terbatas. Jalan mereka ke surga lebih dekat asal bertahan jujur. Tapi kita? Kesempatan dan keleluasaan yang kita punya bakal dapat tantangan berbeda. Suatu saat, keleluasaan kita akan ketemu keterbatasan. Kalau itu terjadi nanti, lakuin kaya mereka. Sibukkin diri untuk bertahan. Dengan bertahan, artinya kita menghargai mereka."
Aku mencerna kalimatnya pelan-pelan.