Aku mengingat pertemuan terakhir kami seperti baru kemarin. Hari itu seharusnya Galal libur, tapi ada dokumen penting yang baru datang ke meja kerjanya dan harus dicek segera. Galal mengajakku dan anak kami, Lafi, belanja rutin kebutuhan rumah tangga, sesuai kebiasaan kami pada hari Minggu. Selama ia menyelesaikan pekerjaannya, aku dan anakku akan turun di supermarket AEON, 3 halte sebelum kantornya. Lalu Galal akan menjemput kami pulang sekalian membawa barang-barang belanjaan.
Sebuah kesadaran menghampiri ketika kutatap sekeliling AEON yang tampak lenggang hari itu. Kenapa orang-orang tidak keluar rumah? Astaga! Jangan-jangan bukan hari yang baik untuk keluar rumah? Masyarakat Jepang akan merencanakan hari-harinya berdasarkan ramalan cuaca, tapi aku dan Galal, lagi-lagi, lupa mengecek ramalan. Kebiasaan kami belum juga berubah sejak tiga tahun yang lalu, saat kami baru menginjakkan kaki di Jepang.
Aku menelepon Galal, memberitahunya untuk cepat pulang karena ternyata hari itu akan ada angin kencang. Salju, ditambah angin kencang bukanlah kombinasi yang baik. Galal setuju. Aku berbelanja dengan cepat, lalu menunggunya di food court bersama Lafi, anak kami.
Namun, di waktu yang kami sepakati, Galal tidak muncul. Kutunggu, hingga lewat satu jam. Makanan yang kusuapi ke Lafi, anak kami, sudah habis. Lafi, bahkan sudah tertidur di pangkuanku. Aku menggigiti taiyaki, kue berbentuk ikan yang diisi berbagai macam saus, seperti cream custard, kacang merah, atau coklat, untuk menghilangkan kegelisahanku.
Kutatap jendela besar yang dibingkai oleh dinding food court. Pemandangan di luar seakan seperti isi suvenir bola kaca salju yang diguncangkan kuat-kuat. Benda putih kecil-kecil bercerai berai kemana-mana. Angin berderu dan pohon bergoyang ke sana kemari. Perasaan tidak enak mulai menyelusup.
"Pah, di mana?" tanyaku ketika akhirnya Galal mengangkat teleponnya. Kudekatkan ponsel di telinga. Jika Galal masih berada di bus atau di dalam ruangan kantor, ia pasti akan menjawab dengan berbisik, jadi aku mendengarkannya dengan saksama. Aku terkejut ketika ia malah menjawab setengah berteriak.
"Ini udah jalan ke AEON! Anginnya gede banget! ADUH!" lalu mendadak suaranya menghilang.
Aku menunggu, lalu mengernyitkan dahi. "Aduh? Aduh kenapa?"
Namun, tidak ada jawaban.
Aku memindahkan teleponku ke kanan lain, menegakkan diri, mendengarkan lebih saksama. Tidak ada tanda-tanda suara Galal. Di seberang sana mendadak hening.
"Pah?"
Tidak ada jawaban.
"Pah, halo?! Kamu kenapa?" sekejap, rasa was-wasku membesar. "Galal! Heh! Jangan main-main ah!"
"Halo?" seseorang akhirnya bersuara di seberang.
"Galal?!" Aku tercekat, ingin memastikan.