"Udah kan ya, Bu, begini aja?" Aku sibuk mengecek benih yang baru kutanam di pot pagi tadi.
"Udah keluar kan akarnya abis direndem di air?" Ibu balik bertanya.
Aku mengangguk.
"Udah cukup. Tunggu aja dia tumbuh. Kamu duduk di sebelah pot juga gak akan bisa lebih cepet tumbuh."
Aku menghampirinya ke sofa sederhana depan televisi lalu duduk di sampingnya. Sofa yang tak berubah bentuknya sejak aku masih bisa mengingat di bangku sekolah. Hanya kain luarnya yang berkali-kali diganti. Ibu menatapku,
"Kamu udah mandi belum sih?"
"Udah kok, tadi." Aku merasa tiba-tiba defensif.
"Rapihin dikit dong penampilannya walaupun belum kerja."
Aku terdiam. Sudah enam bulan aku di rumah ibu. Ratusan lamaran sudah kukirimkan untuk mendapatkan pekerjaan. Kekhawatiranku mulai meninggi seiring uang asuransi kematian Galal yang semakin menipis. Aku tak bisa bergantung kepada ibu, karena ibu pun pemasukannya hanya mengandalkan tabungan pensiun hasil kerja kerasnya seumur hidup. Aku tak mau membebaninya.
Ponsel ibu tiba-tiba berdering. Wajahnya berubah cerah ketika melihat nama di seberang sana lalu segera menjawabnya, "Oh, udah di depan rumah? Sebentar ya!"
Ibu lalu menarik tanganku, membuatku berdiri. Ia lantas dengan terburu-buru mendorongku masuk ke kamar, "Pake kerudungmu, dan rapihin mukanya dikit. Ada tamu buat kamu."
"Tamu?" tanyaku mengulang perkataannya. Ibu tidak menjawab, matanya menungguku melakukan yang ia katakan. Meski sudah besar, tatapan itu tetap berhasil membuatku mengambil jaket dan kerudung instan yang tergantung di belakang pintu tanpa bersuara lagi.
"Pake bedak dulu dikit."
Aku mengerenyitkan dahi, mulai curiga. Ibu bergerak hendak memakaikan bedak untukku, yang segera kutepis. Sambil mengerling, kulakukan apa yang ia pinta. Aku tak mau Lafi terbangun dari tidur siangnya karena kami berdebat. Perlu waktu satu jam menemani Lafi di kasur dengan cerita-cerita baru ia terpejam. Menjadi seorang ibu perlahan mengajariku bagaimana memilih perseteruan yang diperlukan atau tidak.
Ibu lalu memberi isyarat untuk mengikutinya. Aku berlama-lama mematuhinya kali ini.
"Tavishaaa!" Namun panggilan ibu yang membuatku ngeri menatap Lafi yang terusik, membuatku bergerak ke arahnya.
Mendekati ruang tamu, kutemukan ia menyapa teman lamanya diikuti seorang lelaki muda. Glek, aku menelan ludah. Sudah kuduga siapa yang dimaksud 'tamu' untukku. Aku membalikkan tubuh untuk kembali ke kamar, tapi teman ibu terlebih dahulu menangkap sosokku.
"Eh, Tavi!"
Aku menahan napas. Bergerak pelan, menatap balik mata-mata yang memandangku saat ini dengan ngeri. Gimana caranya kabur dari situasi ini?
Demi kesopanan, kupaksakan diri tersenyum juga, lalu mempersilakan mereka masuk. Baru kusadari alasan ibu membeli banyak minuman kemasan kemarin. Ternyata untuk menjamu teman lamanya dan anaknya. Membuang napas sembunyi-sembunyi, akhirnya kulangkahkan kaki dengan berat dan duduk di samping ibu. Mencuri pandang ragu kepada lelaki yang duduk tak jauh dariku. Pria itu menatapku dengan intens meski tersenyum santun.
"Lebih segeran ya sekarang, Tavi." Tante Yanti, teman Ibu, memulai pembicaraan setelah meneguk minuman yang disajikan. Aku tersenyum sebagai jawaban. "Kenalin, ini anakku. Namanya Alvan" Ia menunjuk kepada lelaki di sampingnya.
Beberapa minggu terakhir ibu menyebut nama lelaki ini beberapa kali. Membicarakan profilnya yang seorang dokter muda dan sedang mengambil spesialisasi anak. Aku mendengarkan cerita ibu dengan setengah hati, tidak memberikan perhatian penuh. Aku tak percaya ibu akan tega menjodohkanku lagi padahal belum 1 tahun berlalu dari kematian Galal?
Ruang tamu tak lama kemudian didominasi oleh perbicangan kedua orang tua kami. Baik aku dan Alvan sama-sama tidak ada yang membuka mulut terlebih dulu.
"Udah wabah sih ini harusnya." Namun ketika aku mendengar ibu mengomentari fenomena penyakit yang tiba-tiba merebak di lingkungan kami, aku tak tahan untuk menyeletuk,
"Makanya Bu, yang sudah berumur sebaiknya saling menjaga jarak, ngeri banget penyebarannya. Lafi aja gak aku bawa ke taman karena takut kena juga dan nularin ke ibu."
"Sebentar lagi vaksinnya ketemu. Kalau udah divaksin sih insha Allah aman." Alvan tiba-tiba ikut nimbrung dengan mudahnya.
Refleks, mataku terarah kepadanya dan pandangan kami bertemu. Membuatku mendadak terpasak. Tatapan yang terpancar dari lelaki itu penuh rasa ingin tahu, membuatku segera ingin membangun benteng pertahanan terhadapnya. Aku tetap berusaha keras memasang wajah ramah. Karena sama denganku, mungkin lelaki ini tak tahu apa-apa ketika datang kemari. Kami hanya sedang sama-sama sial. Sial, sebagai korban perjodohan yang diinisiasi oleh kedua ibu kami.
"Ngomong-ngomong soal vaksin, vaksin Lafi udah lengkap kan, Tavi?" Alvan mengajakku berbicara kali ini. Dapat kulihat senyum ibu terkulum. Rupanya obrolan tentang pandemi itu hanya pancingan mereka saja, agar aku dan Alvan ada topik untuk dibicarakan. Aku masuk perangkap mentah-mentah.
"Udah kok. Tapi, apa sih gunannya vaksin kalau ternyata Tuhan bisa ngambil manusia gitu aja tanpa gejala apapun?" Kepura-puraanku berakhir. Aku balas mengetes mereka.
Suasana di ruang tamu berubah drastis. "Tavisha!" Ibu menegurku, terkejut.