Aku melirik ke arah jendela di luar, menatap gedung tinggi di kejauhan. Rumah kakak berada tak jauh dari apartemen yang baru dibangun. Aku ingat Galal mengomentari bentuk apartemen itu seperti menara pisa gagal. Kami tertawa. Ia selalu membuatku tertawa. Kini aku tak tahu, akankah lagi ada alasan untuk tertawa? Bolehkah jika aku menyusul Galal untuk menemukan tawaku kembali?
Dengan enggan, lambat-lambat kulangkahkan kaki ke jendela tempat sumber suara keras yang membuat kakakku datang ke kamarku. Berbagai barang berserakan di sana. Rupanya ada kaki meja yang patah menjatuhkan tumpukan barang di atasnya. Ada gelas dan piring yang ibu siapkan untukku tapi belum kusentuh. Ada setumpuk bingkisan-bingkisan sembako yang ibu siapkan untuk dibagikan di 40 hari kematian Galal, yang seandainya Galal bisa berpendapat, ia pasti tidak setuju budaya tahlilan ini. Namun bisa apa ia sekarang? Yang sudah mati tidak bisa melakukan apa-apa. Begitulah fakta menyebalkan tentang kematian. Sedangkan aku, terlalu lelah untuk mengambil pusing dan berdebat.
Tiba-tiba aku mengenali benda terbawah dari tumpukan barang yang berjatuhan ini. Sebuah kotak besar dengan motif mencolok. Kado-kado terakhir dari Galal.
***
"SUMIMASEN!!"
Aku baru saja menidurkan Lafi. Kepalaku baru saja terantuk mengantuk, ketika mendengar suara perempuan itu dengan keras, dan sangat jelas di apartemen kami. Aku terkesiap menyadari hal mengerikan. Astaga! Ada orang asing membuka pintu rumah! Siapa dia? Apakah aku lupa menguncinya tadi?
Insting keibuan membuatku segera bangkit untuk melindungi Lafi. Aku bergegas mencari tahu, menggeser pintu kertas ruang tengah yang menuju pintu keluar. Mataku dan mata tamu tak diundang tersebut langsung bertemu.
Kenyataan yang membuatku terlonjak. Benar-benar ada seorang perempuan tak kukenal berdiri di depanku! Satu kakinya masih berada di luar ruangan, tapi setengah tubuhnya telah masuk ke rumahku. Satu tangannya menggenggam pegangan pintu. Wajahnya mendadak terkejut. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia bicara dengan cepat.
"Tavueesa-san[1]?" Tanyanya keras. Nama yang bisa dipanggil orang Jepang untuk namaku yang seharusnya dipanggil Tavisha. Aku mengerenyitkan dahi dan memandang curiga.
"Haik[2]?"
"Ah, sumimasen[3]. bla bla bla bla," Dia tiba-tiba bicara dalam bahasa Jepang dengan cepat yang tak satu pun aku mengerti.
"Cho...chotto[4]!" Aku berusaha menghentikannya bicara.
Namun tanpa menjawabku, perempuan itu tiba-tiba keluar lagi, membungkuk, membawa sesuatu, lalu masuk sambil memperlihatkan benda yang dibawanya kepadaku. Sebuah kado berukuran sangat besar. Dengan kebingungan dan waspada, aku menatapnya tajam.
"Purezento[5], purezento." katanya.
Hadiah?
Aku mengangkat alis, masih tak mengerti tujuan wanita ini. Sebelum aku memutuskan apa yang harus kulakukan, perempuan itu meletakkan kado besar tersebut di tanganku. Buru-buru kuletakkan pemberiannya ke samping kaki, untuk memperjelas urusan ini dengannya. Akan tetapi, ia malah menyorongkan sesuatu lagi, kali ini sebuah plastik besar menutup seluruh wajahku. Refleks, kedua tanganku memegang bingkisan tersebut. Ketika aku kembali menurunkannya dengan cepat, perempuan itu tampak membungkuk, meminta maaf, dan pergi menutup pintu tanpa banyak bicara.
"EH, WAIT—-!" kata-kataku menggantung di daun pintu.
Aku segera memakai sandal dan berusaha keluar mengejarnya, tapi wanita itu telah berada di lantai dasar dan mengindahkanku sambil berlari ke mobilnya. Percuma. Kalau aku turun ke bawah dia pasti sudah masuk ke mobil dan siap melaju, sementara meninggalkan Lafi di rumah dengan pintu terbuka sangat berbahaya. Kalau harus mengunci pintu dulu, aku perlu masuk lagi ke apartemen dan mengambil kunci di tasku. Perempuan itu lebih pasti lagi sudah jauh dengan mobilnya.
Hhh. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan masuk kembali ke apartemen. Kali ini memastikan pintu terkunci rapi. Lalu dengan kebingungan dan kepanikan yang belum hilang, kutatap bingkisan yang ternyata buket bunga di tanganku. Buketnya besar, karena untuk ukuran badanku, ia bisa menutupi kepala dan pandangku dengan sempurna. Warnanya didominasi oleh warna pink dari mawar dan tulip, tapi juga ditambah nuansa putih dari bunga lili dan krisan. Cantik sekali seandainya ini memang untukku.
Mulai merasa takut, aku mulai menggeledah buket tersebut lalu menemukan secarik nota yang menempel di sana. Tertulis dalam huruf katakana:
タフィーサ ガンタリー
Alias Tavisha Gantari, nama lengkapku, beserta pesan dalam bahasa Indonesia,
"Untuk gadis musim dingin kesayangan, selamat siang. -Galal."
Perasaanku membludak seketika. "Haaaaah?"
Bahagia, kaget, dan tak percaya di saat yang bersamaan. Sebuah lompatan emosi yang ekstrim dari sebelumnya. Aku tertawa keras. Ya ampun, ternyata ini kerjaan Galal dan kejutan-kejutannya!
Dengan perasaan yang masih meluap-luap, aku lalu meneleponnya.
"Udah terima kiriman paket?" Itu adalah kalimat pertamanya ketika mengangkat telepon.
"Iiih, beneran kamu toh. Kaget tau! Pengirimnya tiba-tiba buka rumah!! Kamu tadi lupa ngunci apa?"
"Aku kasih pinjem kunci emang, hehe. Takutnya kamu ketiduran sama Lafi." Galal selalu tahu kebiasaanku, tanpa kuberi tahu. "Kasian kalau ibu-ibunya harus bolak balik dua kali. Dia langganan Sensei kalau harus ngirim-ngirim ucapan resmi ke rekannya. Aku kan kurir Sensei kalau soal ini, jadi aku dan ibu itu udah kenal baik."
"Oooo... Terus ini kadonya apa isinya? Makasiih."
"Eh, yang buat kamu hari ini cuma bunganya! Kadonya jangan dibuka ya." Galal tiba-tiba berseru serius.
"Hah kenapa?"
"Jangan."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan."
"Ih kenapaaa."
"Kadonya spesial. Nanti aku kasih tau kapan boleh dibuka. Awas loh kalau curang. Gak akan dikirimin kado lagi!"
***
Aku memanyunkan bibir saat itu. Namun menggigit bibir saat ini. Bagaimana bisa aku lupa, bahwa ada kejutan terakhirnya yang belum pernah kubuka? Pasti kakak yang telah mengepaknya untukku. Aku bersyukur kakak bersedia membawanya seperti keadaan asli dan tidak membukanya.