Dimensi [Telah Terbit!]

Astrida Hara
Chapter #7

5. Perkenalan

Tergopoh-gopoh, aku berlari masuk ke dalam gedung matematika kampus. Menyusuri lorong, menemukan ruangan Pak Mirza, lalu mengetuk pintunya dengan cemas. Tak ada jawaban. Kucoba lagi. Tetap tak ada jawaban. Kutatap jam di pergelangan tanganku. Sudah pukul 10 pagi. Aku benar-benar kesiangan! Seharusnya aku berada di ruangan ini sejam yang lalu.

Duh! Mati aku! Pak Mirza yang terkenal killer itu bisa-bisa tidak meluluskanku lagi kali ini!

Gara-gara baterai ponsel yang lupa di-charge, telepon genggamku mati total tadi pagi sehingga alarm tidak bisa membangunkanku. Ditambah semalam aku sibuk mengerjakan tugas tambahan akibat nilaiku yang di bawah ambang kelulusan.

Dengan lunglai, aku menyeret langkah menuju ruangan himpunan jurusan. Kutemukan ruangan kosong yang membuatku lega. Tidak ada siapa-siapa di dalam, karena sedang ada perlombaan basket antar himpunan di aula kampus. Aku terduduk di kursi sambil menimang-nimang ponselku. Aku harus mengirim permintaan maaf pada Pak Mirza melalui pesan singkat. Namun, harus mulai dari mana?

Tiba-tiba pintu ruang himpunan terbuka dengan keras, membuatku terlonjak di atas kakiku. Pak Mirza berdiri di depan pintu. Aku berdiri kaku. Pandangannya mengitari ruangan, lalu terakhir terancap kepadaku. Jantungku mendadak was-was.

“Pak…” Aku berusaha bersuara. Namun, Pak Mirza menyambar terlebih dahulu.

"Jadi malah leha-leha di sini kamu? Saya tunggu di ruangan dari sejam yang lalu!" Nada suaranya langsung meninggi.

"Eng... enggak, Pak. Saya tadi baru dari ruang Ba--"

BRUGG!

Aku mengerenyit terkejut. Sebuah tumpukan kertas dibanting ke lantai. Tugas tambahan yang tadi kuselipkan di wadah surat-menyurat yang bertengger di pintunya.

“Apa-apaan ini! Kamu pikir bisa nyuruh saya begitu aja baca kerjaan kamu tanpa ngomong apa-apa?”

Aku semakin terbata berusaha menjawab.

“Kamu niat lulus atau cuma main-main di sini?!”

“Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud begitu. Tadi tugasnya... Maksud saya, sejam yang lalu.. Eh, bukan, maksudnya, pagi tadi alarm...”

"Tavisha Gantari!" Ia memotongku yang gagap memberi penjelasan.

Aku menutup mulut, menatapnya dengan takut.

"Saya tak butuh alasan. Orang yang pake alasan macam-macam adalah memang orang yang enggak niat. Kamu saya nyatakan tidak lulus semester ini! Semoga beruntung tahun depan."

"TAPI, PAK!" Suaraku meninggi, protes. Pak Mirza tak mau mendengarnya, ia langsung berbalik menjauhi ruangan dengan kasar, meninggalkanku dengan perasaan kalah.

Aku termangu dalam emosi yang bertalu-talu. Padahal tinggal satu mata kuliah ini saja yang aku harus lulus. Padahal jika ini lulus, aku bisa wisuda sarjana beberapa bulan ke depan. Ini sudah kedua kalinya Pak Mirza menggagalkan kelulusanku. Namun berbeda dengan tahun lalu, kali ini ketidaklulusanku akan berdampak lebih besar. Karena artinya aku masih tetap harus membayar kuliah satu tahun lagi, sebab semester depan mata kuliah wajib ini tidak dibuka. Padahal, pekerjaan sampinganku sebagai guru les baru saja berhenti karena pemiliknya membanting setir mendaftar jadi PNS daerah.

Ini benar-benar gawat!

Tanganku yang masih tak berhenti gemetar, berusaha meraba sebuah dudukan. Lalu perlahan, aku menurunkan tubuhku ke atas kursi sambil menggengam pegangannya agar tidak terjatuh. Pak Mirza memang terkenal galak jika berkaitan dengan perkuliahan, tapi aku tidak pernah menyangka akan mengalaminya secara langsung.

“Sial!” Aku mengucapkan serapah dalam amarah. Kepalaku terasa berdenyar-denyar, membuatku menekan kening dengan kedua telapak tangan. Seiring waktu, kekagetanku berangsur hilang, namun emosi lain beralih menguasai. Kesal, sakit hati, sedih, malu, semua rasa berhimpit mengisi hati. Aku kecewa pada Pak Mirza. Mengapa ia harus sekasar dan sekeras itu? . Sekuat tenaga aku berusaha tak menangis.Kulipat kedua tanganku di atas meja, dan kusembunyikan kepalaku ke dalamnya. Lalu, air mataku tak terbendung.

 Aku menutupkan mulut rapat-rapat agar tak ada yang mendengarnya dari luar. Entah berapa lama aku menangis. Sesenggukan dengan suara tertahan. Ketika segala kesah dan resah sudah berangsur lega, mendadak sebuah gerakan terdengar di belakangku.

Aku terlonjak kaget, buru-buru mengitarkan pandangan ke sekeliling ruangan mencari asal suara. Tiba-tiba satu sosok keluar dari belakang meja dan tas yang berjejer di paling belakang. Apa?! Ternyata ada manusia tertutup jaket di sana?!

Lelaki itu terduduk di atas lantai, mengacak-acak rambutnya demi usaha membuat kesadarannya pulih. Anak-anak rambutnya berantakan mencuat ke berbagai arah.

Sudah berapa lama ia di sini? Apakah ia mendengar semua kejadian tadi? Apakah ia mendengarku menangis?

Lelaki itu melirikku sekilas. Namun, tanpa bicara apa-apa sosok itu lalu meninggalkan ruangan. Dahiku berkerenyit, menebak-nebak profilnya. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Siapa dia? Memoriku terus mencocokkan mahasiswa di jurusan Matematika ini. Tapi aku tak pernah melihatnya. Apakah ia Sang Legenda? Mahasiswa abadi Departemen Matematika yang konon jenius tapi tak pernah lulus? Sudah 4 tahun aku kuliah di sini tapi tak pernah bertemu dengannya. Aku menepuk kepalaku, memastikan tidak sedang berhalusinasi.

Tadi benar-benar ada orang kan di sini?

Beberapa saat kemudian, kuputuskan untuk mulai menyalakan laptopku. Berselancar di dunia maya untuk mencari inspirasi apa yang harus kulakukan dengan nasib tragisku.

Lihat selengkapnya