Dimensi [Telah Terbit!]

Astrida Hara
Chapter #10

8. Tanya Yang Menyesakkan

Waktu kecil, kita selalu mempercayai semua cerita. Orang yang berubah jadi kuat karena digigit laba-laba atau karena tersambar halilintar atau berasal dari luar planet. Kita tidak protes membaca kura-kura bisa bicara, kancil banyak trik, bahkan tentang monster di bawah kasur, kita kira memang benar-benar ada. Seorang anak tidak memisahkan dunia nyata dan dunia fiktif. Mungkin karena terlalu banyak yang ia  tidak tahu, atau mungkin, karena sebenarnya dunia tidak kasat mata itu memang benar ada. Hanya saja, semakin dewasa kita semakin lupa cara memahami realita yang tak tampak.

 Antusiasme kita untuk membuka pikiran seluas-luasnya sebagaimana anak kecil belajar, menghilang perlahan. Setiap bertambah jenjang kehidupan, kita semakin dijejali banyak aturan yang harus dipatuhi. Begitu banyak pengetahuan yang ditanamkan. Namun ironisnya, secara bersamaan, imajinasi kita menyusut dan kebenaran semakin mengerucut. Hanya boleh ada satu kebenaran, maka kebenaran yang lain salah.

"Jadi kamu gak percaya ada kehidupan setelah kematian?" Aku bertanya kepada Maria saat istirahat di kantor beberapa hari yang lalu.

Maria menggeleng ringan sambil menyeruput bakmi yang ia pesan. "Kalau kamu percaya hal kaya gitu, kamu gak akan hidup full di dunia." 

"Kenapa?"

"Hidup jadi penuh beban kan? Humm... apa istilahnya? Ngumpulin bekal? Elo ngumpulin bekal buat dunia lain yang kata orang ada, tapi jadinya gak menikmati kehidupan yang jelas-jelas lo jalani di atas bumi. Terus kalau ternyata dunia lain itu gak ada, gimana? Lo di sini keburu hidup setengah-setengah, eh hidup berakhir gitu aja. Nyesel gak?"

Beberapa rekan yang ikut makan siang bersama terlihat menukar senyum jengah. Maria sudah lama meninggalkan agamanya. Ia seorang agnostik, masih mempercayai Tuhan, tapi tidak mempercayai kitab yang ada.

"Kitab tuh buatan manusia. Kita bisa kok bicara sama Tuhan langsung. Lewat hati." Ia menyentuh dadanya.

Setelah percakapan itu teman-teman kami berkasak kusuk di belakang Maria. “Kita jangan terlalu dekat sama dia lah ya... bahaya.” 

Maria mendengarnya, dan ia tersenyum. 

“Pendidikan kita bikin mudah membagi orang dalam golongan-golongan,” bisik Maria kepadaku. “Bukannya memilah, malah membelah kebenaran.”

Aku tidak menolak pendapat Maria yang terakhir. Itu kenyataan yang banyak terjadi.  Padahal perbedaan adalah salah satu tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Bisa jadi, di hal se-absurd apapun, ada setitik kecil kebenaran-Nya. Begitu pendapat Galal.

Pernyataan Maria menggantung di benakku.

Apakah benar, jika meyakini ada kehidupan setelah kematian, membuat manusia jadi menjalankan kehidupan setengah-setengah di atas bumi?

Pertanyaan di kepalaku semakin menjadi, ketika sore ini Lafi menatapku dan bertanya,

"Lafi bisa ketemu Papa di surga, Ma?"

Aku menghela napas.

 Pertanyaan ini dimulai sejak ia berusia 4 tahun. Awalnya tanya itu sesederhana, seperti, "Ma, Lafi punya ayah gak?"

Pertama kali mendengarnya, aku harus menahan hentakan yang menusuk hati seketika.

"Punya dong. Ayah Lafi namanya Papa Galal. Dia ganteng, pinter, dan baik. Kan Lafi udah sering lihat di foto."

"Tapi kenapa Lafi gak pernah ketemu Papa?" Nadanya terdengar rindu meski tidak ingat pernah bertemu.

Ketidakberdayaan dalam diri menguasai karena tidak bisa mencegahnya mengalami rasa itu.

"Karena Papa Lafi, udah meninggal, Sayang. Jadi Lafi gak bisa bisa ketemu lagi sekarang.” 

Lihat selengkapnya