Dimensi [Telah Terbit!]

Astrida Hara
Chapter #8

6. Stigma

"Maaf ya, Mama terlambat." Aku mencium Lafi dan memeluknya. Meeting dadakan yang dimulai terlambat, membuatku hadir satu jam lebih lama dari yang seharusnya di undangan ulang tahun salah satu teman daycare Lafi. Untunglah ibu sedang mengunjungi kami, jadi ia yang mengantar Lafi ke tempat acara. Sibuk bekerja dan memenuhi kebutuhan rumah di Sabtu dan Minggu membuat aku dan Lafi biasanya melewatkan acara-acara seperti ini. Namun karena kali ini yang mengundang adalah tetangga sebelah rumah yang mereferensikan daycare Lafi, maka aku merasa berkewajiban untuk datang.

"Makasiih ya udah dateng!" Ia menyapaku.

"Sorry telat, Tya. Udah tiup lilin?"

"Bentar lagi! Kamu gak ketinggalan apa-apa kok. Mau kenalan dulu sama orang tua murid yang lain?"

Semula aku tak merasa perlu, tapi ketika Tya berlalu dan mulai mengenalkan satu-satu akhirnya aku ikut menyapa juga. Mayoritas tamu adalah orang tua yang menitipkan anaknya di daycare. Sebagian pernah kulihat di halaman daycare tanpa pernah saling sapa. Sebagian lagi aku belum pernah melihatnya sama sekali. Ketika Tya dipanggil untuk bersiap-siap acara puncak anaknya, ia meninggalkanku berbincang-bicang dengan mereka.

"Dari mana aja? Baru dateng ya?" Sapa salah seorang yang aku ingat mengaku bernama Mia.

"Iya, nih. Sorry. Ada kerjaan lembur di kantor."

"Wah, Mamanya Lafi kerja ya. Rajin..." Komentar seseorang yang lain. Duh, yang ini siapa ya namanya tadi?

"Berat ya kalau Sabtu juga kerja... siapa yang jaga anak? Daycare kan tutup?"

"Kadang-kadang aja kok. Untung kerjaan lembur gini enggak pernah mendadak, jadi bisa minta tolong ..."

"Suaminya laah..." Mia ikut menanggapi dengan yakin. "Kan anak milik berdua! Ya kan, Mamanya Lafi?"

Aku hanya memasang senyum sebagai jawaban, tanpa berkomentar lebih jauh.

"Iyaa, elu sih suaminya baik, Mia!" Perempuan yang aku lupa namanya bicara lagi, "Lah, suami gue? Wiken malah adaaa aja maen sama temen-temennya."

Bukan kisah yang ingin kudengar.

"Sekarang aja, gue lagi kan yang musti nemenin anak? Dianya main golf sama atasannya. Wajib katanya." Ia membuat suara pret dari bibirnya kemudian tertawa bersama Mia. Setelah berhenti, ia mengalihkan tatapannya kepadaku. Terlihat mengusahakan mengubah wajahnya kembali ramah. Usaha yang malah membuatku bersiap akan menerima pertanyaan tidak menyenangkan lainnya.

"Jadi tadi Lafi ke sini sama ayahnya, Mamanya Lafi?"

Tuh kan. Kepo. Aku mulai defensif, menandai agar tidak banyak berurusan lagi dengannya di masa yang akan datang.

"Sama neneknya..."

"Apa gue bilang! Gak semua suami sebaik suami elu, Mia!" Ia berseru menang.

"Ayahnya Lafi udah meninggal." Aku terprovokasi, memberi tahu hal yang tak perlu mereka tahu. Tak terima mendengar Galal dibanding-bandingkan dengan sosok seseorang yang tak kukenal. Kalau Galal masih hidup, sudah pasti dia akan mengantar Lafi kemana pun. Galal akan bersama kami setiap weekend. Itu yang ia lakukan sewaktu masih hidup di Jepang. Kalau harus ke kampus atau ke kantor di hari libur, ia akan mengantarkan kami ke tempat bermain atau bertemu Mba Hikmah, orang Surabaya yang menikah dengan lelaki Jepang dan merupakan salah satu warga Indonesia paling senior di Kanazawa, untuk makan siang bersama di sebuah restoran. Galal yang akan mentraktir.

Ekspresi perempuan tadi seperti tertampar mendengar pernyataanku. Di belakangnya, Mia juga memasang tampang terkejut. Dua ekspresi yang mulai akrab kulihat setiap kali aku baru mengenal seseorang dan mereka bertanya tentang suamiku atau ayahnya Lafi.

"Ah, maaf. Eh, udah meninggal? Masih semuda ini? Sakit?"

"ANAK-ANAAAAK! YUUUKK SEMUA KE DEPAN! KITA MAU TIUP LILIN NIIH!" Suara menggelegar MC menyelamatkanku dari keingintahuan orang asing yang tidak pada tempatnya. Para orangtua langsung teralihkan fokusnya dan mencari anak masing-masing.

Aku menemukan Lafi dan ibu. Ibu mengisyaratkan ingin menunggu di belakang ruangan saja. Aku mengangguk paham, menggenggam tangan Lafi untuk berjalan ke depan agar bisa ikut bernyanyi bersama teman-temannya. Setelah itu, aku mundur bergabung di lingkaran luar bersama para orang tua. Lili, anak Tya, tampak begitu cantik dalam balutan baju putih model putri raja. Wajahnya memancarkan kebahagiaan tapi malu-malu. Diapit oleh kedua orangtuanya, ia bertepuk tangan dan meniup lilin dengan bahagia. Lafi berdiri di samping Lili, menatap pemandangan itu dengan sorot aneh. Dahiku mengerenyit, mengamati dengan saksama.

"Emang anak umur 4 tahun udah ngerti artinya ulang taun ampe perlu dibuat perayaan semewah ini?"

Perhatianku teralihkan oleh suara di sampingku. Aku menoleh, menemukan salah satu orangtua menggumam. Matanya melirikku meminta persetujuan. Aku tergerak membela keputusan Tya,

"Anak kecilnya mungkin ngerti mungkin enggak. Tapi buat orang tuanya kan beda lagi. Mungkin ini cara mereka buat inget harus banyak bersyukur dikasih 4 tahun kebersamaan dengan anaknya?"

Aku telah banyak mendengar kisah Lili dari Tya, jadi aku jadi tahu. Jantung Lili bermasalah sejak lahir. Ia bahkan telah melewati beberapa operasi untuk bertahan hidup. Tya melewati setahun pertama kehidupan Lili dengan penuh air mata. Pasti, bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus seperti Lili, setiap pertambahan tahun adalah hadiah yang perlu disyukuri dan kesempatan mendoakan untuk tahun-tahun mendatangnya. Orang di sampingku ini sepertinya tidak tahu cerita itu. Dan aku tidak akan menjelaskan secara detail kisah Lili kepadanya. Tapi, aku tak mengerti apa keperluan menggunakan standarnya untuk menilai keputusan yang dibuat orang lain tanpa berprasangka positif terlebih dahulu?

"Iya kali. Tapi uang buat party kaya gini kan lebih bermanfaat buat disumbangin ke yatim piatu atau orang-orang kecil di pinggir jalan, daripada ngundang kita."

Aku menatapnya lama. Bertanya-tanya seandainya Tya tahu ayah dari seorang teman anaknya datang ke acara ini hanya untuk menghakiminya, akankah dia tetap mengundangnya?

"Memangnya Tya harus ngasih tau Mas, kalau dia udah nyumbang ke siapa aja? Lagian, minta doa ke orang-orang terdekat bukannya jadi lebih tulus? Dan--"

Lihat selengkapnya