Dinara

adinda pratiwi
Chapter #2

Tahlilan ke empat puluh hari

Sebagai penutup tahlilan ke empat puluh hari, Dinara merapikan beberapa sisa makanan yang masih bergeletak di lantai usai acara. Aroma bunga sedap malam masih tercium, menambah suasana hening dan penuh doa.

Beberapa tamu dari kerabat terdekat duduk berkelompok, berbicara satu sama lain dengan suara pelan. Sandra, adik almarhum, meminta Dinara untuk istirahat, melihat matanya yang indah masih berbalut dengan kesedihan.

“Kak, istirahat dulu, ya. Kakak kelihatan sangat lelah,” ucap Sandra lembut.

Dinara berusaha menguatkan diri untuk terus membantu keluarga kedua baginya. Tidak hanya Dinara yang merasa kedukaan mendalam atas kepergian Mas Satria, ibu dan adiknya kembali merasakan duka setelah setahun yang lalu sang bapak lebih dulu menyusul kepergian mereka.

"Bu. Maafin Dinara tidak bisa menjaga Mas Satria. Dinara sangat menyesali kejadian..." Belum sempat melanjutkan permintaan maafnya, calon ibu mertua mengusap tangan Dinara dengan lembut, memberi kode untuk berhenti.

"Tidak usah menyalahkan dirimu lebih lama lagi. Itu sudah takdir Yang Maha Kuasa. Ibu berusaha ikhlas. Makasih ya, Nak Dinara, sudah bantu ibu acara tahlilan Mas Satria," katanya sembari duduk di kursi roda, wajahnya yang melembutkan tak kuasa Dinara membiarkan ibu sedih seorang diri.

"Bu.. Ibu mau minta apa? Ada yang perlu Dinara bantu?" tanya Dinara sembari menggenggam tangan ibu Mas Satria.

"Ada, sayang. Ibu ingin kamu kembali menjalankan hidupmu penuh kebahagiaan setelah kepergian anak ibu. Bukalah hatimu untuk orang lain, jangan biarkan dirimu sendirian terlalu lama. Ibu tidak ingin kamu menutup hatimu dan menghukum dirimu atas kejadian kemarin." Dinara tertunduk, tak berani menatap mata ibu Mas Satria. Dengan lembut, dirinya merasakan sentuhan kasih sayang ibu Mas Satria.

Dinara menarik napas, meminta kekuatan, dan menatap ibu Mas Satria dengan senyumannya. "InsyaAllah, Bu, biarkan aku menikmati proses ini perlahan demi perlahan, ya, Bu." Ibu Satria mengangguk, tersenyum dengan penuh pengertian.

Waktu sudah larut malam ketika Dinara berpamitan pulang, dijemput oleh sang kakak. Lampu-lampu jalan yang redup menemani perjalanan mereka, menambah keheningan malam itu. Hembusan angin malam yang dingin seolah turut merasakan kesedihan yang membekap hati Dinara.

Sepanjang perjalanan, Dinara tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kakaknya, Ridho, mengerti kondisi dan situasi Dinara. Dia begitu memahami kesedihan adiknya karena dirinya pun pernah merasakan kehilangan yang mendalam saat istrinya meninggal karena kecelakaan tahun lalu.

Sesampainya di rumah, Dinara membuka pintu mobil dan mengucapkan terima kasih dengan suara pelan, enggan menatap mata kakaknya setelah menangis sepanjang jalan yang berusaha ia tahan. Ridho mengikutinya dari belakang, menutup pintu ruang tamu, dan mengucapkan assalamu'alaikum. Terdengar suara ibu menyambut di ruang keluarga, yang sedari tadi mengkhawatirkan anak-anaknya yang baru saja pulang.

Lihat selengkapnya