“Nando, kamu mau bikin Mami mati karena jantungan! Kenapa lama? Mami suruh kamu untuk cuti agar kamu cepat pulang, Fernando. Mami malu kamu buat, di sini, masih banyak lagi yang kita mau urus untuk pesta pernikahanmu ini. Tolong jangan buat Mami sakit kepala
“Apa lagi memang yang harus aku lakukan Mi. Aku sudah menuruti semua yang kalian mau,” ucapku.
“Kalau kamu menuruti apa kata Mamimu, seharusnya kamu tidak bersama kekasihmu sekarang.”
“Aku akan meninggalkannya dan menikah dengan wanita pilihan keluarga. Mami Puas?”
“Kalau begitu pulanglah, tinggalkan wanita itu, sekarang juga,” kata Mami, Ia Tau kalau aku di rumah Mikha. Terkadang orang tua seperti dukun, mengetahui banyak hal tentang anak-anaknya, seorang Ibu terkadang bisa tau apa yang dilakukan anak-anaknya di luar tanpa diberi tahu.
Aku terdiam menyimak mencoba berpikir, bukan Mami namanya kalau ia tidak menceramahi ku panjang lebar tanpa jeda.
“Baik, mi ,” kataku memotong pembicaraan mami, kalau tidak segera dihentikan, mami akan berkhotbah padaku bisa-bisa sampai sore.
“Fernando tinggalkan kekasihmu sekarang, mami mohon.”
Terdengar mami menarik nafas berat, aku tahu mereka pasti banyak pikiran tentang bagaimana kelanjutan pesta pernikahan kami, ini juga berat bagiku, memutuskan Mikha wanita menjadi kekasihku sejak empat tahun silam. Menikah karena perjodohan satu hal yang sulit bagiku, apalagi aku posisinya seorang lelaki, tetapi aku tetap melakukannya sebagai salah satu caraku untuk menghormati tradisi adat dari suku.
Tidak mudah memang, ini tidak ada lagi kaitannya dengan hati, ini salah satu sebagai tanggung jawab sebagai anak lelaki tertua, pembawa marga di keluargaku.
“Baik Mami, aku akan melakukannya,” jawabku dengan berat hati.
“Baiklah Fernando, Mami tidak tau harus berkata apa lagi, Mami berharap kamu gentleman atas janji yang telah kamu ucapkan,” kata Mami terdengar ada rasa khawatir di balik suaranya.
Kedua orang tuaku sudah pulang ke kampung lebih awal demi mengurus pesta pernikahan untukku dengan sepupu. Anak dari pamanku hanya seorang gadis desa yang baru lulus sekolah SMA. Entah apa yang dipikirkan keluargaku mendesak pernikahan untuk kami.
“Sini, biar aku yang bicara padanya,” terdengar di ujung telepon Papi mengambil alih ponsel Mami. “Fernando, besok ambil penerbangan pagi , tiba di bandara Silangit bisa siang,” kata Papi.
“Baik Pi,” sahutku patuh. Papi bukan tipe lelaki yang banyak bicara, tapi sekali bicara menusuk ke ulu hati dan menakutkan, terkadang mendengar beliau sekali marah bulu selangkangan yang biasanya keriting bisa mendadak lurus.
“Baiklah, kamu pulang sekarang bereskan pakaianmu, urusan pekerjaan saya sudah suruh pak Tony mengurus semuanya,” mendengar nada suara seperti itu, artinya si Bos lagi marah.
“Baik Pi,” jawabku tanpa ada bantahan.
Papi menutup sambungan teleponnya.
*