“Berhentilah sok kaya, kalau miskin tidak usah tinggi-tinggi cita-citamu, aku sama bapakmu tidak akan mampu menyekolahkan, terimalah nasibmu dan
terima perjodohan ini, menikahlah..! tidak usah macam –macam, awas kamu berpikir macam-macam, kamu beruntung Namboru mu kaya,”(dalam bahasa daerah) kata Bibiku ia masih berdiri di belakang Melani.
Melani terlihat tidak membantah lagi, ia diam tapi sesekali ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya dan tetap melanjutkan mengerjakan pekerjaannya. Tulang, bapak Melani juga ada di sana, ia hanya diam , tidak membela Bibiku juga, ia tidak membujuk Mel. Beliau hanya diam, tidak mau bicara, Paman menundukkan wajahnya.
Tulang sepertinya tidak terlalu menyukai pernikahan ini, matanya terlihat sedih menatap putrinya yang saat ini menangis.
Tulang sepertinya tidak menyukai kami dijodohkan, tapi beliau tidak bisa berbuat apa-apa, Karena Nantulang sepertinya jauh lebih galak.
Oh jadi ia juga tidak menyukai perjodohan ini? Ini semakin menarik, kami berdua tidak menyukai pernikahan ini, lebih baik ngomong terus terang pada keluarga agar pernikahan ini di rundingkan kembali.
Sekarang aku mengerti kenapa dia bersikap dingin padaku, ternyata pariban kecilku ingin kuliah daripada menikah. Di satu sisi aku menyukai sikap itu.
Hal besar yang di sudah di rencanakan keluarga kami tidak mungkin kami batalkan begitu saja karena ini sudah kesepakatan orang tua, wasiat dari mendiang opung doliku atau kakekku.
Suka tidak suka pernikahan kami akan tetap berlangsung, ini juga keinginan Opung boruku atau nenekku yang saat ini sudah sakit-sakitan.
Baiklah, menikah saja tidak apa-apa , setidaknya Melani tidak menyukai pernikahan ini, berarti ia juga mungkin tidak keberatan jika aku tetap berhubungan dengan kekasihku walau kami sudah menikah, itulah yang aku pikirkan.
Hari ini, kami akan Martumpol Melani tampil anggun dengan polesan dan keajaiban tukang rias yang memoles wajahnya, pulau-pulau di wajahnya bisa tertutupi dan ia terlihat anggun dengan kebaya berwarna hijau.
Walau ia tidak menyukai perjodohan kami, tapi ia bisa bersikap tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa pada hatinya.
Padahal aku sudah melihat bagaimana ia berusaha keras menolak perjodohan ini, bukan hanya sekali, tapi dua kali kedapatan mataku memohon untuk menghentikan pernikahan kami agar ia bisa kuliah, tapi dua kali juga ia gagal membujuk kedua orang tuanya.
Kami Martumpol di Gereja sederhana di Pandiangan. Teman-teman Melani terlihat ikut juga mendampinginya dan selalu menemaninya saling bercanda, tapi Nia terlihat hanya tersenyum ringan.
Kenapa Ia bisa bersikap dewasa seperti itu, saat teman-temanya bersikap masih layaknya orang remaja yang masih suka labil. Tapi Melani lebih dewasa dari semua teman-teman sebayanya.
Walau ia diledekin sama teman-temannya, ia akan menanggapinya dengan tenang dan jawabannya yang terdengar lebih dewasa.
Acara martumpol sudah terlaksana, cincin sudah terpasang di jari-jarinya dan di jari-jariku.
“Ayo kita bicara berdua, aku ingin bicara dengan kamu kataku,” saat kami tiba di rumah setelah dari gereja.