Mimpi buruk pada keluarga besar kami, terlebih untuk Melani, ia tidak sedikit pun beranjak dari samping jenazah tulang, hingga besoknya tulang kami dimakamkan.
Tapi besoknya, akan ada pesta pernikahan kami, bagaimana selanjutnya? semua undangan sudah disebar dan tenda saat tulang meninggal tidak di buka lagi.
Hidup mati rahasia Tuhan, hanya Tuhan yang tahu kapan hidup manusia berakhir.
Setelah mimpi buruk itu, mimpi buruk yang lainnya juga datang.
Melani menolak untuk melanjutkan pernikahan, aku sendiri pun tidak akan tega, air mata masih di pelupuk mata, bagaimana kami menjalankan pernikahan ini.
Semua orang membujuk Melani agar melanjutkan pernikahan yang sudah ditentukan, tapi ia menolak dengan deraian air mata.
“Bagaimana aku mau menikah, bapak baru juga dikuburkan.”
Semua orang memakluminya, bahkan nantulangku mamanya Melani masih juga terlihat shock, masih terus menangis, Nantulang belum percaya serasa mimpi.
Ini bukan tentang biaya puluhan bahkan ratusan juta yang sudah terpakai untuk persiapan pesta kami. tapi ini sudah musibah besar untuk keluarga kami.
Suara-suara sumbang seperti lebah mulai bermunculan dari orang-orang kampung yang mulai bergosip.
Bahkan orang-orang bermulut lemes itu mengatakan, semua sial untuk pernikahan kami, ini pertanda buruk untuk kami, bahkan larangan untuk meneruskan pernikahan kami.
Tapi siapa yang tahu apa itu karma dan kutukan, setidaknya orang yang punya Tuhan tetaplah percaya Tuhannya.
Mami terlihat terpukul, ia banyak diam tidak berani mengutarakan keinginannya. Di satu sisi, ia hanya mengikuti wasiat almarhum kakekku, dan sisi lain bagaimana mami meneruskan pernikahan ini saat banyak orang mengatakan jangan di teruskan, ia bingung, belum lagi biaya dan seluruhnya yang sudah habis untuk biaya pesta pernikahan kami dan ongkos pulang pergi kami.
Tidak ada yang menduga akan seperti ini, semua keluarga begitu terpukul, apa lagi oppung kami, melihat anaknya meninggal mendahuluinya, itu satu siksaan tersendiri bagi orang tua Batak.
Tidak ada lagi keceriaan dan tawa untuk penyambutan pesta meriah.
Yang ada hanya tatapan hampa dan tangisan-tangisan sedih terdengar di dalam rumah.
Keluarga berkumpul yang tadinya untuk pernikahan kami, malah menyaksikan kepergian tulang ke alam baka.
Melani jangan ditanya. Perempuan remaja itu hanya menangis sepanjang hari, beruntung ia punya keempat temannya, Revina, Betaria, Sina, Wati mereka berempat selalu mendampingi Melani.
Kesedihan Melani jadi kesedihan teman-temannya juga, tidak ada lagi tingkah saling dorong-dorongan, tidak ada lagi ketawa-ketawa dan saling berbisik, mereka ikut larut dalam kesedihan sahabatnya.
Melihat semua keluarga tidak ada yang membuat keputusan, padahal waktunya tinggal besok, jika besok tidak jadi semuanya akan sia-sia.
Keluarga besar sudah berunding, tapi belum menemukan titik terang. Jalan satu-satunya hanya aku dan Melani yang membuat keputusan.
Aku memutuskan bicara dengan Melani.
“Kita bicara sebentar ,iya,” kataku mengajak nya keluar. Matanya terlihat sangat bengkak.