Dipaksa Menikah Dengan Sepupu

Betaria Sonata L raja
Chapter #8

#8 Kembali ke Jakarta

Akhirnya pesta selesai juga, lega rasanya, aku merasa beban berat itu lepas dari pundakku.

Selama hampir dua minggu di kampung, aku merasa memikul beban yang sangat berat.

 

Saat ini aku sudah sah suami bagi seorang Melani, pariban kecilku.

 

Dua hari setelah pesta usai, kami sudah menyelesaikan silaturahmi pada keluarga di kampung.

 

Sebenarnya keluarga masih meminta kami untuk tinggal lebih lama, karena adatnya setelah selesai pesta pernikahan, biasanya kita pengantin baru diundang makan di rumah keluarga dekat.

Kami terpaksa melewatkan tradisi itu karena aku meminta untuk pulang ke Jakarta lebih cepat, karena ada pekerjaan yang mendesak. Sebenarnya bukan masalah pekerjaan yang mendesak, tapi hatiku yang mendesak ingin menemui seseorang.

 

Tapi sebelum pulang ke Jakarta sudah satu tradisi di keluarga besar kami setiap ada acara atau syukuran akan makan hidangan khas Batak Toba. Naniura atau sushi Orang Batak masakan khas dengan rasa andalimannya yang bergetar di lidah.

Ikan mas tidak dimasak hanya dibalut dengan asam dan bumbu berwarna kuning.

 

Aku dan Melani akhirnya memutuskan untuk berangkat lebih dulu dari kedua orang tuaku pulang ke Jakarta.

 

Teman-teman akrab Melani, Betaria, Revina, Sina,Wati memeluknya dengan tangisan, kini keempat anak remaja itu sudah ditinggalkan salah satu teman akrab mereka.

 

Melani terlihat sangat tegar, sedangkan Nantulang mamanya Melani terlihat diiringi tangisan untuk melepas putrinya, sepanjang perjalanan mengantar kami ke labuhan kapal di Pandiangan. Nantulang memeluk Melani air mata nya tidak berhenti mengalir dan nasehat-nasehat seorang ibu, ia bisikkan pada Melani, Melani atau Istriku hanya menganggukkan kepalanya.

 

Tiba di labuhan Pandiangan, kapal yang yang akan menyeberangkan kami dari Danau Toba ke bandara Silangit akhirnya datang.

 

Disitulah tangisan Melani pecah, ia menangis saat melihat adik-adiknya menangis melepas kepergiannya.

 

“Sudah, sudah, kapal akan segera berangkat,” tanteku, atau Bounya Nattania yang menemani kami pulang, Tante, menuntun tangan Melani menaiki kapal.

 

Kapal perlahan meninggalkan pelabuhan, aku dan Melani masih terlihat sangat kaku, ia sifatnya pendiam dan aku yang belum mengenalnya sepenuhnya membuat hubungan kami sangat kaku. Kaku dan kering seperti kulit kerbau yang jemur.

 

Dalam kapal, sesekali ia masih terlihat menyeka air matanya dengan punggung tangannya, harusnya aku sebagai suaminya menyenderkan kepalanya di pundakku, memberikan punggungku untuk ia menyandarkan kepala, tapi aku tidak melakukannya.

 

Aku belum siap, aku belum siap jadi seorang suami untuk Melani, aku butuh waktu untuk menerimanya sebagai istriku, aku harus minta maaf akan hal itu.

 

Akau dan Melani butuh tahap pengenalan, ia memang sepupuku tapi aku jarang bertemu dengannya, pernah beberapa kali itupun waktu kecil.

 

Lihat selengkapnya