“Maafin Mami iya, Ta,” kataku, berucap pelan mungkin ia sudah tidak mendengarnya lagi.
Aku merasa lelaki yang lemah, tidak punya pendirian dan ketegasan. Lelah dengan pikiran dan tubuhku, aku juga sebenarnya belum makan, tapi memilih untuk tidur melihat Melani tidak mau makan, aku juga kehilangan selera makan.
Saat aku bangun, Melani juga sudah bangun, seperti biasanya ia selalu bangun sebelum jam lima pagi, walau di rumah kami ada dua orang Asisten rumah tangga tapi ia selalu ikut membantu di dapur, membereskan banyak hal, boleh dibilang di rumah ini sebenarnya, terlihat seperti pembokat daripada seorang istri, semua ia kerjakan.
Sejak malam itu, ia sedikit demi sedikit mulai berubah.
Aku sudah sengaja bangun cepat, niat ingin mengantarnya ke kampus, tapi saat ingin sarapan pagi ternyata kata si Bibi , pagi-pagi sekali ia sudah berangkat.
Tumben pagi-pagi ia sudah berangkat, apa ia tidak serapan? Di meja makan ada dan tidak ada Melani, mami tetap saja bernyanyi membuatku tidak berselera makan. Baru dua suap, tapi mendengar mami marah-marah pagi-pagi membuatku kehilangan nafsu makan.
“Aku berangkat.”
“Loh, serapan belum habis,” Papi menegurku, Papi paling tidak suka melihat nasi terbuang-buang.
“Maaf Pi, tiba-tiba kehilangan selera makan karena Mami marah-marah terus.”
“Aku marah sama si Melani bukan sama kamu,” kata Mami dengan suara menggelegar dalam rumah.
“Melani ada, tidak ada, Mami tetap saja marah-marah, Mami tidak kasihan apa sama dia?”
“Kasihan? kenapa saya harus kasihan, saya memberinya nasehat untuk kebaikannya,” kata Mami selalu ada jawaban dan tidak pernah mau mengalah.
“Nanti kalau Mami terus menerus seperti itu, kami akan mengontrak sendiri.”
“Kamu tidak akan mampu jauh dari Mami Nando, kamu sama Melani harus tetap bersama agar kita mengawasi kalian berdua.”
*
Tapi sejak Tulang kami memberi nasehat pada Melani malam itu, sejak hari itu ia mulai berubah, ini sudah hampir empat bulan Melani mulai jaga jarak, terlihat di rumah ia seperti semakin menjauhkan diri, rumah kami sudah seperti menginjak bara api baginya, ia tidak pernah betah di rumah, berangkat pagi-pagi sekali, pulang sudah sangat larut malam .
Aku sudah tidur, ia baru pulang. Hampir tidak mengobrol dengannya lagi, aku terlalu santai, tapi hatiku sangat sedih memikirkannya, aku sengaja tidur malam sengaja ingin melihatnya pulang jam berapa.
Jam 23:30 ia baru sampai, aku masih berkutat di meja kerjaku.
Kereaak
derit pintu dibuka.
“Eh, abang belum tidur?”
“Kok baru pulang jam segini?”
"Ia bang tadi restorannya sangat ramai jawabnya," tapi wajahnya terlihat sangat lelah, bahkan ia tidak membuka baju yang ia pakai lagi dan langsung merebahkan tubuhnya.